Tulisan ini sejujurnya terinspirasi dari buku yang ditulis Asep Samsul M. Romli berjudul Lincah Menulis Pandai Bicara. Itulah gunanya membaca, dari sana kita mendapat inspirasi baru dan menghasilkan karya yang barangkali lebih segar. Dalam konteks itulah, tulisan ini hadir buat semua Kompasianer.
Berdasar pengalaman, memang tak
mudah menemukan orang yang antara menulis dan berbicara sama baiknya.
Ada yang sangat mudah menulis, tapi gagap diminta mempresentasikan
gagasan. Sebaliknya, ada yang sangat piawai berorasi, tetapi kalah
sebelum bertanding saat diminta menyusun pidatonya dalam bentuk narasi.
Tapi, tetap ada yang punya kemampuan setara atas kedua keterampilan itu.
Menulis dan berbicara di depan publik (public speaking)
memang tak memandang latar akademis seseorang. Seorang doktor pun, yang
mampu menulis disertasi, ternyata “tak sanggup” menulis artikel populer
untuk media massa. Contohnya ialah sangat minim para doktor yang rajin
menulis artikel di media massa. Sebaliknya, ada pula alademisi yang sulit sekali berbicara dengan baik saat mengutarakan gagasan.
Intisari tulisan ini memandu kita
agar punya dua keterampilan ini dengan sama baik. Mengapa? Wow, gunanya
banyak sekali. Kapasitas kita bakal teruji saat menulis dan berbicara
kita sama baiknya.
Supaya mudah, saya akan membaginya.
Kita mulai dari kemampuan menulis. Meski beberapa item sudah saya
lempar di Kompasiana dalam tiga kesempatan, kali ini akan saya rangkum.
Mungkin normatif, tapi ada pula yang praktis. Jadi, bagaimana agar kita
cerdas dalam menulis atau bernarasi.
Pertama, cerdas menggali ide
Menulis memang butuh ide. Gagasan
itu yang memantik motoris kita untuk membuat sebuah artikel lengkap.
Tanpa gagasan, sulit membuat tulisan. Itulah sebabnya, saat ide itu
datang, meski cuma secuil, segera dicatat. Lalu, kembangkan ide itu
menjadi satuan-satuan gagasan. Semakin banyak gagasan yang bisa kita
inventarisasi tentu semakin bagus karena setiap poin gagasan berujung
pada satu paragraf.
Untuk mengembangkan gagasan, kita
perlu banyak membaca dan menganalisis serta membanding-bandingkan antara
satu kasus dan kasus lain. Misalnya, kita ingin menulis soal kasus
korupsi di tubuh Partai Demokrat. Kita ingin mengupas bagaimana kasus
ini semakin membuat publik tak percaya dengan partai, ketiadaan sanksi
tegas oleh partai, dan kemunculan rezim kleptokrasi atau rezim maling.
Semakin banyak kita mampu menghubung-hubungkan antara satu ide dan ide
lain, tulisan itu akan semakin hidup dan padat. Sebab itu, tulisan utuh
pun bisa kita hasilkan. Makanya, begitu ide datang, segeraa catat dan
bereksplorasilah dengan itu.
Kedua, cerdas mengobservasi
Hal kedua yang mesti dimiliki ialah
cerdas dalam mengobservasi. Setiap kejadian yang terekam dalam media
massa adalah hal menarik untuk ditulis. Terutama berita-berita yang
menjadi berita utama media massa. Hal lain ialah fenomena yang terjadi
di sekitar kita. Taruhlah misalnya untuk isu di media, kita mampu
membaca dan mengaksesnya dengan baik. Yang perlu perhatian ialah yang
terjadi di sekitar kita. Misalnya dalam satu pekan listrik di kota ini
pemadaman bergilir atau air minum sulit didapat. Peristiwa itu bisa kita
observasi, sedikit reportase atau jajak pendapat, lalu diuraikan dalam
tulisan. Cerdas dalam mengobservasi ini mewajibkan kita awas terhadap
setiap detail persoalan. Apa pun itu, asal ia berkenaan dengan publik,
pasti menarik untuk diulas. Dan pembaca pasti senang dengan ulasan
tentang ihwal yang mereka rasakan sendiri akibatnya. Maka itu, buka
mata, pasang telinga, dan rasailah dengan hati denyut persoalan yang ada
di sekitar kita.
Ketiga, cerdas memilih judul
Judul yang baik mampu memberikan
arah kepada pembaca atas keseluruhan konten tulisan. Judul yang baik
tidak selalu bombastis. Asal isi tulisannya bagus, judul akan mengikuti.
Intinya lebih kepada konten.
Judul buat sebagian penulis ditulis
belakangan, tapi ada juga yang mesti melampirkan judul dulu baru
menulis. Saya terkategori yang kedua. Meski tema sudah kaut, kalau judul
belum dibubuhkan, rasanya gimana gitu.
Judul tak mesti panjang. Supaya
mudah saya acap memberikan usul dengan menulis judul berawal imbuhan
“me”. Judul dengan kata kerja, buat saya, lebih memberikan semangat
untuk meneruskan tulisan. Tapi, ini jelas tidak mutlak. Judul dengan dua
frasa–seperti judul tulisan ini–juga bisa. Ya judul memang persoalan
selera. Maka itu, ya kembali seperti di atas, kontennya mesti kuat.
Walau selera, tetap saja membikin judul artikel tak mesti panjang dan
deskriptif seperti membikin skripsi, judul makalah, tesis atau
disertasi.
Keempat, cerdas menulis lead
Kesulitan mengawali tulisan masih
sering saya alami, sampai sekarang. Ketika tema sudah oke, kerangka
sudah dibangun, dan pengembangan telah ada di kepala, ternyata sulit
menulis bagian awal. Apa yang mau saya tulis. Itulah dilema ketika
menulis lead atau kepala tulisan. Bingung mau memulainya dari mana.
Kesulitan itu bisa diatasi dengan
menulis hal yang paling sederhana dari artikel yang mau kita bikin.
Misalnya dengan mengutip berita yang ada di koran. Contoh, “Penerimaan
siswa baru di Lampung sebagaimana diwartakan beberapa media massa daerah
ternyata diwarnai dengan jual-beli kursi. Tes yang diadakan sekolah
sebatas formalitas. Anak orang mampu cukup mudah masuk ke sekolah negeri
dengan membayar sejumlah uang. Sebaliknya, anak dari keluarga tak mampu
banyak yang ditolak karena tak bisa membayar uang muka masuk sekolah.”
Bisa juga mengawali tulisan dengan
memberikan perspektif atau fenomena yang terjadi. Contoh, “Orang miskin
dilarang sekolah. Banyaknya pungutan dalam penerimaan siswa baru tahun
ini menunjukkan hal itu memang terjadi. Orang tak mampu, yang makan saja
sulit, mesti ditambah susah dengan uang sekolah anak yang sangat
mahal.”
Lead
yang baik memang memancing pembaca meneruskan bacaan atas tulisan itu
sendiri. Namun, jika itu masih sulit dan kita masih berproses, bikin
saja lead yang kita mudah meneruskan kalimat sampai narasi terakhir. Jadi, tak usah muluk dengan lead yang oke, asal kita merasa nyaman dengan teras tulisan, itu sudah cukup.
Kelima, cerdas swa-editing
Tanggung jawab atas tulisan berada
penuh di pundak penulisnya. Maka itu konten tulisan, termasuk data dan
remah lainnya adalah tanggung jawab pribadi. Sebab itu, fungsi editing
atau penyuntingan menjadi penting. Editing tak sekadar memperbagus
kalimat atau bahasa, tetapi lebih dari itu. Inilah yang dimaksud dengan
menyunting sendiri atau swa-editing. Kita perlu titik emosi yang memadai
saat menyunting tulisan sendiri. Sebab, kita bakal sayang saat
memotong, meringkas, dan memperbaiki tulisan. Di luar teknis soal
editing, verifikasi juga penting. Misal nama yang kita kutip di dalam
tulisan, kesahihan data yang kita ambil, dan sebagainya. Editing adalah
proses memperbagus konten tulisan. Maka itu, pasti ada aktivitas
mengoreksi, memotong, mengubah, memangkas tulisan. Cerdas dalam
swa-editing bakal membikin karya tulis kita semakin bagus.
Keenam, cerdas memasarkan
Tugas penulis tak cuma sampai
menuntaskan kalimat terakhir dalam sebuah artikel. Ia harus memastikan
produk tulisannya bisa diterima media massa. Buat kita yang tergolong
produktif, memang tak cukup mengandalkan satu media untuk disasar. Kita
memerlukan banyak media. Sebab itu, inventarisasilah sebanyak mungkin
media yang memiliki rubrik artikel dan menerima tulisan kontributor atau
penulis lepas. Pelajari karakteristik media massa dan berkenalan dengan
redaktur atau editor yang menggawanginya. Yang perlu diingat, jangan
mengirim tulisan yang sama ke banyak media! Kita bisa masuk daftar hitam
atau blacklist. Tema boleh sama, tapi penguraian mesti berbeda jika hendak mengirim ke banyak media. Atau kalau di media A tulisan kita sudah ngendon dua
pekan dan tidak dimuat, kirim surat via email, kabarkan tulisan itu
kita tarik dan dikirim ke media lain. Kalau sudah begitu, tanggung jawab
kita ke media yang pertama, kelar.
Ketujuh, cerdas dan lekas
Motivasi orang dalam menulis memang
beragam. Ada yang serius karena berharap bisa mendapat penghasilan, ada
yang sesekali saja mengirim ke media, ada pula yang memublikasikan
sebatas blog, tapi ada pula yang menyimpan rapat-rapat dalam folder dan
file di komputernya.
Untuk menjadi penulis yang baik
tentu saja mesti berani memublikasikan, entah di media massa maupun
blog. Mengapa ini penting? Supaya kita terbiasa dalam iklim berkompetisi
secara sehat. Kalau cuma di file pribadi, bagaimana kita bisa tahu
tulisan itu baik atau tidak. Mengirim tulisan ke media atau blog akan
memancing komentar dari pembaca. Kalau sampai diterbitkan media, artinya
karya kita itu layak siar untuk khalayak. Artinya, dari segi dampak pun
semakin luas dibandingkan cuma sebagai dokumentasi pribadi.
Tak perlu jengah atau marah saat
tulisan kita tak dimuat media massa atau sedikit yang mengomentari.
Anggap saja itu sebagai pelajaran, dan belajar itu kan dari yang
sedikit. Insya Allah semakin lama menulis, keterampilan kita terasah.
Muaranya ialah tulisan kita semakin bagus: lebih sering dimuat media
massa dan lebih banyak direspons pembaca blog.
Kedelapan, cerdas-ambisius
Mungkin andai tak memiliki ambisi,
seorang Jose Mourinho tak bakal menjadi pelatih tersohor. Karena punya
ambisi, target, sasaran yang jelas, The Special One bisa punya prestasi
moncer sebagai manajer klub sepak bola ternama, dari Porto, Chelsea,
Inter Milan hingga Real Madrid.
Menjadi penulis juga demikian. Kita
mesti punya ambisi bahwa kita suatu saat harus menjadi pengarang
kenamaan. Ambisi dan motivasi itulah yang menjadi bahan bakar dalam
menulis. Karena punya ambisi, tentu setiap kali menulis kita tertantang
untuk menghasilkan karya terbaik. Ya menjadi yang terbaik!
Punya ambisi jangan dianggap dengan
skeptis. Tanpa punya kemauan yang kuat, semua pekerjaan tak akan sukses
dilakoni. Karena ada ambisi itulah, seseorang bersemangat untuk menjadi
pemenang. Ambisi tak selalu berbanding lurus dengan sifat jemawa,
takabur, dan sombong. Sepanjang ia dilakukan untuk mencari kemanfaatan,
ambisi tetap wajar dimiliki.
Dalam konteks menulis, kita tentu
ingin menjadi yang terbaik, ingin tulisan kita dimuat, mau dibaca dan
direspons banyak orang. Sebab itu, wajar kalau saat membuat karya kita
berambisi menjadi yang nomor satu.
Menulis dengan ambisi membuat kita
punya spirit saat menulis. Menciptakan yang terbaik ialah wujud dari
sebuah ambisi. Setelah ambisi terwujud dalam sebuah karya, dimuat
tidaknya, direpons atau dianggap sepi, menang atau kalah, itu soal lain.
Tawakal saja terhadap hasil. Yang penting proses penulisan ditambah
dengan premium ambisi sudah dilakoni.
Cergas Berorasi
Melakukan presentasi, misalnya,
orasi, ceramah, memberikan sambutan, menjadi presenter, atau menjadi
pembawa acara boleh jadi buat sebagian orang adalah hal yang dihindari.
Berbicara di depan publik (public speaking) rupanya
punya keangkeran tersendiri. Sebuah penelitian di Amerika Serikat bahkan
menyatakan, setelah kematian, ketakutan orang yang kedua ialah
berbicara di depan publik!
Supaya kita bisa cergas (tangkas,
giat, dan cekatan) dalam berbicara di depan publik dengan baik, ada
beberapa kita yang perlu dicoba.
Pertama, cergas mempersiapkan bahan
Apa yang mau kita sampaikan
hendaknya dikuasai semaksimal mungkin. Misalnya besok pagi kita diminta
memberikan sambutan dari pihak calon mempelai pria dalam akad nikah
keponakan. Siapkan bahannya pada beberapa hari sebelumnya. Perkirakan
saja kira-kira kita akan memberikan sambutan selama lima menit. Selain
salam, ucapan syukur kepada Allah, dan selawat kepada Nabi, inti
sambutan kita di mana? Misalnya, kita menyerahkan calon mempelai untuk
dinikahkan, sampaikan kita membawa sedikit barang sebagai tanda cinta,
kita juga membawa rombongan yang lengkap, mohon maaf jika ada
kekurangan, lalu sampaikan pengharapan proses akad dan resepsi berjalan
lancar, dan… selesai.
Itu yang sederhana. Kalau presentasi dalam waktu yang lama dan fokus pada sebuah hal, persiapan kita jelas lebih kompleks.
Kedua, cergas berlatih dan nekat
Karena berbicara itu sifatnya
praktik, sudah tentu sebelum tampil di ajang sebenarnya, kita perlu
berlatih. Caranya? Cobalah tampil seolah-olah kita sedang berbicara di
depan kelas. Sampaikan presentasi seperti kita melihat banyak orang di
hadapan. Tak usah sungkan. Bisa juga minta anggota keluarga menjadi
sukarelawan. Minta mereka menjadi audiens dan kita presentasi di depan
mereka. Presentasikan apa saja. Misalnya mempresentasikan isi sebuah
buku, bisa keunggulan atau kelemahan. Bisa juga mempresentasikan sebuah
produk dan meyakinkan audiens agar tertarik membelinya. Atau konten yang
paling mudah, ceritakan biodata singkat kita kepada mereka. Berlatih
seperti ini akan memudahkan saat kita benar-benar tampil di depan
pendengar. Ini ujian mental namanya. Saya pun kadang-kadang berbicara
sendiri saat menunggangi kuda besi. Ya sekadar melancarkan kalau-kalau
ada tawaran mengisi pelatihan atau berpresentasi.
Kalau mau yang ekstrem, ada. Tenang saja. Saya pernah mengampu kelas public speaking
lewat lembaga Kaizen Training Centre di Bandung, Jawa Barat. Ada
sekitar 15 orang yang ikut. Pelatihan itu lamanya sekitar tiga bulan.
Setiap Sabtu saya menuju ruang kelas di Masjid Salman, ITB. Seorang
teman yang mengaturnya di sana. Selain memberikan materi dan berlatih di
kelas, semua peserta wajib mengikuti sesi dahsyat ini: berbicara di
dalam bus yang ngetem di dekat Gedung Telkom jurusan Jatinangor.
Acara berlangsung sukses, seru, dan
mendebarkan. Ada peserta yang masih gugup tapi lumayan jika
dibandingkan saat pertama ikut pelatihan, ada yang demikian lancar
sampai hampir terbawa bus yang sudah mulai jalan, hingga ada peserta
yang hendak diberi uang oleh penumpang bus!
Yang membuat berkesan, peserta
kelas itu “bukan orang sembarangan”. Saya coba mengingat-ingatnya. Ada
tiga bersaudara. Pak Dadang pemilik restoran, adiknya bernama Winda yang
mendapat suami orang Lampung, dan Ibu Dokter Tita. Ada juga Teh Icun
yang bekerja di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Selebihnya saya lupa namnya.
Yang pasti ada dua mahasiswa magister ITB, dan seorang dosen muda ITB
lulusan kampus bergengsi di Jepang. Sisanya ibu rumah tangga biasa.
Semuanya tak piawai presentasi saat kelas dibuka. Alhamdulillah, kemauan
mereka yang kuat, membuat kelas berjalan efektif. Dan sesi “ceramah” di
dalam bus menjadi pengalaman yang sungguh tak terlupakan.
Ketiga, cergas atasi gugup
Ciri paling mudah dilihat saat
orang gugup bicara ialah artikulasinya patah-patah dan raut mukanya tak
percaya diri. Bisa jadi memang kurang persiapan, bisa juga sudah siap
tapi baru pertama kali unjuk diri.
Keringat dingin biasanya mengucur
deras, dan banyak “e,e,e”. Yang mendengar bisanya cuma sebal sama yang
bicara. Padahal, belum tentu juga kalau disuruh tampil, bisa bicara.
Nah, kalau sudah begitu, bagaimana
mengatasinya? Triknya, jujurlah kepada audiens. Sampaikan bahwa kita
memang gugup! Bicarakan juga bahwa kita sudah melakukan persiapan
matang, tetapi karena tampil perdana, semua yang disiapkan menjadi
lenyap. Dengan jujur semacam itu, kita sudah mendinginkan suasana.
Audiens pun akan mengerti. Satu-dua orang mencela, cuek saja. Dengan
begitu, kita pasti lancar bicara karena yang kita sampaikan adalah yang
dirasakan. Kalau bicara sudah enak, lanjutkan presentasinya, Bro!
Hakulyakin bakal sukses.
Nah, supaya penampilan kita lebih
santai, pegang sesuatu di tangan kanan atau kiri. Anggap saja barang itu
sebagai penyaluran energi gugup tadi. Bisa secarik kertas, sebatang
bolpoin, atau laser sorot.
Atau, bila berkacamata, pegang satu
framenya di ujung telunjuk dan ibu jari, kanan atau kiri. Itu akan
menolong. Pegang mikrofon juga bisa. Namun, ada kalanya pelantang itu
malah yang bikin kita grogi. Salah-salah ujung mik dekat betul dengan
mulut. Ada-ada saja.
Keempat, cergas memulai
Dalam menulis, ini disebut membikin lead. Gagal di lead,
sulit melanjutkan tulisan. Sukses di sini, ke depannya semakin gampang.
Dalam presentasi juga demikian. Berhasil dalam pembukaan, rintisan
sukses sampai akhir presentasi sudah membayang.
Nah, ketika membuka pembicaraan,
usahakan rileks saja. Suasananya itu kita yang mengatur, bukan audiens.
Pendengar hanya mengikuti. Setelah salam, sapalah audiens. Bilang kita
senang ada di dalam ruang pertemuan, bertemu dengan orang-orang yang
haus ilmu.
Dapat juga dengan lebih dalam memperkenalkan diri, sekadar melengkapi curriculum vitae
yang dibaca moderator. Dengan membangun suasana yang akrab, audiens
juga akan nyaman dan mereka percaya mendengar kita bicara akan mendapat
banyak pengetahuan. Setelah suasana enjoy, segera masuk ke intisari
pembicaraan karena kita tentu dibatasi dengan waktu.
Kelima, cergas berilustrasi
Pendengar acap membutuhkan banyak
contoh saat mendengar seorang presenter. Mereka membutuhkan banyak amsal
sebagai motivasi untuk bertindak setelah presentasi usai. Misal, dalam
kesempatan kuliah tujuh menit (kultum) jelang salat tarawih. Karena
waktu sangat terbatas, penyampaian harus seefektif mungkin. Menggunakan
banyak contoh akan sangat membantu. Misal, bicara soal puasa dan
kesehatan. Akan lebih baik jika diuraikan contoh atau testimoni para
atlet saat melakukan aktivitas meski berpuasa.
Misalnya pesepakbola asal Mali yang
bermain di Sevilla, Spanyol, Frederic Kanoute. Ia tetap berpuasa dengan
asupan yang diatur dokter klub saat makan sahur. Dengan banyak amsal,
kemampuan kita mempengaruhi orang saat menjadi pembicara akan semakin
besar. Gagasan yang kuat ditopang ilustrasi yang mengena, manfaat yang
dirasa akan semakin banyak. Coba deh!
Keenam, cergas berbahasa
Senjata saat berbicara yang
kecerdasan berbahasa. Bahasa Indonesia yang baik tentu pilihan yang
tepat. Namun, tidak seketat ragam bahasa tulis, dalam ragam lisan, kita
bisa luwes. Lucu juga kalau setiap kali berucap harus terdiri atas
subjek, predikat, objek, dan keterangan. Malah kaku jadinya. Yang
penting, kuasai bahasa dengan baik. Sesekali diselingi bahasa daerah,
juga bagus untuk memancing respons pendengar.
Kalau audiens kita orang Indonesia, tak perlu banyak menggunakan diksi asing atau mencampurnya. Contoh, “Saya pernah lunch dengan GM corporate terkenal. Dia talk dengan saya bahwa Indonesia sulit maju coz Indonesia tidak ter-influence
teknologi tingkat tinggi.” Repot kan kalau bahasanya gado-gado begitu.
Kalau gado-gado betulan sih tak apa. Ingat ya, gunakan bahasa Indonesia
yang baik!
Ketujuh, cergas menyapa dan kontak mata
Suatu waktu saat mengikuti mata
kuliah Bank dan Lembaga Perekonomian, dosen, Nairobi, namanya, tiba-tiba
menyapa nama saya. Seingat saya, itu pertemuan perdana dan saya belum
pernah bicara sebelumnya dengan bapak dosen itu. Tapi, mungkin karena
saya acap menulis, dia tahu saya dan mencari informasi soal pribadi
saya. Wah, saya geer juga. Bayangkan saja, yang ikut mata kuliah itu
puluhan orang dan nama saya disebut berkali-kali sebagai mahasiswa yang
rajin menulis.
Dari pelajaran itu, saya dapat ide
untuk sesekali acap menyapa peserta dalam sesi pelatihan atau diskusi.
Kita pun begitu. Namanya manusia, akan senang jika namanya disebut.
Dengan begitu, keterikatan antara pembicara dan pendengar akan terjalin.
Dan itu terbukti sukses. Makanya, kalau mendapat jatah presentasi, kita
wajib mengetahui sedikit banyak soal peserta. Kalau memungkinkan,
kenali semua peserta dalam kelas presentasi itu. Mungkin tak hafal
semua, dapat 50 persen saja sudah lumayan.
Ini rahasia ya, dengan menyapa
peserta dan menyilakan mereka ikut berargumentasi, kita kan terbantu.
Paling tidak ada bahan bahasan dari jawaban peserta dan waktunya pun
diisi oleh peserta sendiri. Bercanda!
Yang lain, jaga kontak mata. Jadi
pembicara tak boleh tertuju pada satu titik. Semua pendengar punya hak
mendapat perhatian. Edarkan pandangan pada semua sisi ruang. Kuasai
ruang hanya dengan menatap! Jadi, tak ada satu labirin pun yang tak
terjangkau. Ini untuk menumbuhkan percaya diri bahwa ruangan itu milik
kita, milik pembicara. Pandangan mata yang tertunduk, melihat
langit-langit, kosong, dan sebagainya, akan membuat pendengar merasa tak
dihargai. Maka, hargailah mereka dengan menjaga dengan baik kontak mata
kita.
Kedelapan, cergas ber-extempore
Ini cara public speaking
yang terbaik. Cara ini mewajibkan presenter untuk membuat kerangka
pembicaraan dan materi pendukung. Dan, tidak mengingatnya. Ada orang
yang bergantung pada hafalan. Semua yang disampaikan adalah bahan
hafalan semalam suntuk! Ini kurang bagus karena metode menghafal akan
kehilangan geregetnya saat ada satu bagian yang lupa. Lebih baik
membuatnya dalam kerangka besar dan pendukungnya, kemudian dieksplorasi
sendiri. Misalnya, membuatnya dalam Power Point intisari pembicaraan bab
per bab dan secuil contoh.
Saat malam sebelum esok tampil,
bahan itu dipelajari dan dikuasai. Poin-poin penting diberi tanda supaya
bisa dieksplorasi dengan bahasa sendiri. Ini akan bagus. Selain materi
lancar disampaikan, kita takkan terganggu saat ada peserta yang
bertanya, baik sesuai dengan konteks maupun di luar ruang lingkup materi
yang disampaikan.
Ayo, kita praktikkan beberapa
panduan ini. Insya Allah bisa menulis dan berbicara di depan publik
dengan sama baiknya! Wallahualam bissawab.
Sumber: http://bahasa.kompasiana.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar