Senin, 24 April 2017

Mahasiswa Sosial Seimbangkan Teori dan Praktik


Semenjak kita memasuki sekolah jenjang SLTA, kita telah dikenalkan dengan istilah kelas IPA dan kelas IPS. Hal ini ditenggarai oleh kemampuan masing-masing siswa dalam memahami pelajaran yang diberikan guru saat memasuki sekolah tingkat atas tersebut. Bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik yang bagus, biasanya dimasukan ke kelas IPA, sedangkan siswa yang biasa saja atau kurang bisa memahami materi terutama pelajaran matematik, fisika dan biologi maka dimasukan ke kelas IPS, begitulah semenjak dahulu kala hingga zaman serba canggih ini, pengkotakan pendidikan adalah hal yang lumrah dan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam masyarakat pasti terdapat kelas-kelas sosial (stratifikasi sosial) yaitu membedakan masyarakat secara vertikal, hal ini karena terdapat prestise atau penghargaan terhadap suatu nilai (value). Keadaan tersebutlah yang juga merasuki dunia pendidikan kita, terdapat kelas-kelas unggul dan kelas-kelas umum. Memasuki perguruan tinggi lebih dikhususkan lagi menjadi kelas eksata, kelas sosial dan kelas bahasa. Kelas eksakta dianggap paling unggul, karena mahasiswa yang masuk di sana adalah mahasiswa berprestasi di sekolah, selain itu secara lapangan kerja juga dianggap memiliki lapangan kerja yang pasti padahal kenyataannya banyak juga yang menjadi pengangguran atau bekerja tidak sesuai dengan gelarnya seperti bekerja di Bank, sedangkan kelas sosial adalah kelas menengah yang diisi oleh mahasiswa biasa saja yang dari IPA dan berprestasi dari kelas IPS, dan yang terakhir adalah kelas Bahasa yang dianggap paling sedikit peminatnya sehingga sebagai kelas nomer tiga.
Dalam perkuliahan juga terdapat perbedaan yang mendasar antara eksakta dan sosial, yaitu kelas eksakta bisanya disibukan dengan praktikum setiap minggunya di labor, sedangkan anak sosial tidak ada praktikum, hanya berbicara teori saja. Padahal anggapan ini tidak sepenuhnya dapat diterima, karena nyatanya anak sosial juga membutuhkan praktikum, namun dalam teknusnya memang berbeda dengan anak eksata, salah satu perbedaan mendasar dalam hal praktikum antara eksakta dan sosial adalah objek yang menjadi bahan praktikum dan tempat praktikumnya. Jika eksakta melakukan praktikum di labor dan yang menjadi objek adalah benda-benda atau hewan percobaan, namun anak  sosial melakukan praktikum di masyarakat luas dan yang menjadi objeknya adalah masyarakat itu sendiri. Misalnya di jurusan Sosiologi terdapat mata kuliah strategi pemberdayaan masyarakat, dalam perkuliahan terdapat strategi yang dapat dilakukan oleh sarjana sosial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika di kelas mahasiwa dapat berbicara teori, namun di lapangan harus terdapat praktik terdapat teori yang telah dipelajari.
Selain itu mata kuliah yang bisa dipraktikum dalam masyarakat adalah sosiologi perdesaan, perkotaan, industri, konflik, dan banyak lagi, sehingga sebenarnya dalam melaksanakan perkuliahan mahasiswa sosial tersebut tidak saja disibukan dalam memahami teori, tapi juga harus diimbangi dengan kuliah lapangan (praktikum), dengan menyeimbangkan antara teori dan praktek tersebut adalah langkah mrnghasilkan lulusan yang bermutu, karena kualitas lulusan Jurusan Sosial adalah kunci  dalam meningkatkan pembangunan manusia terutama manusia Indonesia


Oleh: Yaser Arafat, S.Sos

Tidak ada komentar :

Posting Komentar