Semenjak kita memasuki sekolah jenjang SLTA, kita telah
dikenalkan dengan istilah kelas IPA dan kelas IPS. Hal ini ditenggarai oleh
kemampuan masing-masing siswa dalam memahami pelajaran yang diberikan guru saat
memasuki sekolah tingkat atas tersebut. Bagi siswa yang memiliki kemampuan
akademik yang bagus, biasanya dimasukan ke kelas IPA, sedangkan
siswa yang biasa saja atau kurang bisa memahami materi terutama pelajaran
matematik, fisika dan biologi maka dimasukan ke kelas IPS, begitulah semenjak
dahulu kala hingga zaman serba canggih ini, pengkotakan pendidikan adalah hal
yang lumrah dan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam masyarakat pasti
terdapat kelas-kelas sosial (stratifikasi sosial) yaitu membedakan masyarakat
secara vertikal, hal ini karena terdapat prestise atau penghargaan terhadap
suatu nilai (value). Keadaan tersebutlah yang juga merasuki dunia pendidikan
kita, terdapat kelas-kelas unggul dan kelas-kelas umum. Memasuki perguruan
tinggi lebih dikhususkan lagi menjadi kelas eksata, kelas sosial dan kelas
bahasa. Kelas eksakta dianggap paling unggul, karena mahasiswa yang masuk di
sana adalah mahasiswa berprestasi di sekolah, selain itu secara lapangan kerja
juga dianggap memiliki lapangan kerja yang pasti padahal kenyataannya banyak
juga yang menjadi pengangguran atau bekerja tidak sesuai dengan gelarnya seperti bekerja di Bank, sedangkan kelas sosial adalah kelas menengah
yang diisi oleh mahasiswa biasa saja yang dari IPA dan berprestasi dari kelas
IPS, dan yang terakhir adalah kelas Bahasa yang dianggap paling sedikit
peminatnya sehingga sebagai kelas nomer tiga.
Dalam perkuliahan juga terdapat perbedaan yang mendasar
antara eksakta dan sosial, yaitu kelas eksakta bisanya disibukan dengan
praktikum setiap minggunya di labor, sedangkan anak sosial tidak ada praktikum,
hanya berbicara teori saja. Padahal anggapan ini tidak sepenuhnya dapat
diterima, karena nyatanya anak sosial juga membutuhkan praktikum, namun dalam
teknusnya memang berbeda dengan anak eksata, salah satu perbedaan mendasar
dalam hal praktikum antara eksakta dan sosial adalah objek yang menjadi bahan
praktikum dan tempat praktikumnya. Jika eksakta melakukan praktikum di labor
dan yang menjadi objek adalah benda-benda atau hewan percobaan, namun anak sosial melakukan praktikum di masyarakat luas
dan yang menjadi objeknya adalah masyarakat itu sendiri. Misalnya di jurusan
Sosiologi terdapat mata kuliah strategi pemberdayaan masyarakat, dalam
perkuliahan terdapat strategi yang dapat dilakukan oleh sarjana sosial dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika di kelas mahasiwa dapat berbicara
teori, namun di lapangan harus terdapat praktik terdapat teori yang telah dipelajari.
Selain itu mata kuliah yang bisa dipraktikum dalam masyarakat
adalah sosiologi perdesaan, perkotaan, industri, konflik, dan banyak lagi,
sehingga sebenarnya dalam melaksanakan perkuliahan mahasiswa sosial tersebut
tidak saja disibukan dalam memahami teori, tapi juga harus diimbangi dengan kuliah
lapangan (praktikum), dengan menyeimbangkan antara teori dan praktek tersebut adalah langkah mrnghasilkan lulusan yang bermutu, karena kualitas lulusan Jurusan Sosial adalah kunci dalam meningkatkan pembangunan manusia terutama manusia Indonesia
Oleh: Yaser Arafat, S.Sos
Tidak ada komentar :
Posting Komentar