Harapanmu Masih Ada
Oleh: Yaser Arafat
Mahasiswa Sosiologi Unand
UKM Penalaran
Shubuh itu, suara kokok,an
ayam jantan membangunkan seorang gadis yang bernama Santi, Santi merupakan siswa
kelas tiga di Sekolah Menengah Atas (SMA). Setelah bangun tidur, Santi merapikan
kamarnya, setelah itu, dia bergegas ke kamar mandi untuk berwhudu dan kembali kekamarnya untuk menunaikan sholat shubuh. Setelah selesai sholat shubuh,
Santi pergi kedapur untuk membantu
ibunya memasak.
Ibu Santi bernama Fatimah, dia sudah empat tahun
menjanda karena ditinggal sang suami yang meninggal
karena mengidap penyakit kanker.
Sambil membantu ibunya memasak, Santi
teringat percakapan teman-temannya kemaren disekolah tentang kuliah di perguruan tinggi. Santi juga sangat ingin
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi,
oleh sebab itu, dia mencoba mengungkapkan keinginannya tersebut pada
ibunya
“ Bu, setelah tamat sekolah
nanti, Santi pengen kuliah.” Ucap Santi
membuka percakapan.
Mendengar permintaan anaknya
tersebut, Fatimah langsung
menghentikan pekerjaannya dan memandangi anak gadisnya tersebut.
“ Kok ibu memandang Santi
seperti itu?” Tanya Santi
heran
(Sambil membelai rambut
anaknya) “Nak, ibu tau kamu
mempunyai cita-cita yang tinggi, tapi
permintaamu itu terlalu berat untuk ibu penuhi. Semenjak ayahmu tiada, ekonomi
keluarga kita semakin sulit, ibu harus banting tulang untuk menyekolahkanmu,
jangankan untuk kuliah, untuk makan sehari-hari aja kita harus ngutang
diwarung. Sedangkan abangmu kerjanya
cuma ngojek”.
Santi lalu menghempaskan pinggulnya ke kursi dan dia teringat harta
peninggalan ayahnya.
“ Harta warisan peninggalan
ayah kan ada!” Sahut Santi
“Harta warisan ayahmu sudah habis
membiayai pengobatan abangmu saat dia kecelakaan.” Balas Fatimah
“Harta warisan nenek kan ada bagiannya
untuk ibu?” Tanya Santi
dengan penuh harapan.
(Sambil melanjutkan pekerjaanya) “Harta
warisan yang mana nak? Semua harta warisan nenekmu udah diambil sama pamanmu,
sedangkan sawah yang dimiliki nenekmu juga sudah dijualnya.”
“Mengapa
diambil semuanya bu? Bukankah agama
mengatakan kalau harta warisan itu harus dibagi-bagi?”
“Itulah nak,, semenjak ayahmu meninggal, keluarga kita selalu
direndahkan, paman dan bibimu juga menjauhi
keluarga kita, tapi kita harus tabah
ya nak.”
“Kenapa begitu bu? Apa salah keluarga
kita? Mengapa mereka memandang keluarga kita berdasarkan materi?”
Sebelum Fatimah menjawab petanyaan Santi, Rio, kakak Santi datang kedapur,
karena terbangun mendengar percakapan Santi dan Ibunya.
“Ada apa San? Ada apa bu? Mengapa saya mendengar ibu dan Santi
menyebut-nyebut almarhum ayah? Ada apa dengan beliau?” Tanya Rio
heran.
“Bang,, Santi pengen kuliah, tapi
uang tidak ada, semuanya sudah dibawa oleh paman.” Sahut Santi menjelaskan apa yang mereka
perbincangkan.
“Kamu itu kalau ngomong mikir-mikir
dulu San..! Kamu kan tau bagaimana keadaan keluarga kita, kita ini keluarga miskin
San..!! Kerja abang aja cuma ngojek.” Sahut Rio
menasehati adiknya tersebut.
“ Abangkan laki-laki satu-satunya dikeluarga kita, seharusnya
abang membela keluarga kita, tapi mengapa abang membiarkan hak ibu dirampas paman??”
“ Maafin abang San.. abang
gak bisa berbuat banyak, dia itu paman kita satu-satunya.”
“Paman??? Abang bilang dia itu paman
kita?? Apakah dia menganggap kita sebagai Keponakanya?? Mikir dong bang…!!”
(Dengan
nada emosi) “Kamu bentak-bentak abang ya?? Kamu
nyalahin abang??”
Melihat Santi dan Rio mulai
bertengkar, ibunya langsung melerai.
“Udah-udah.. lupain aja tentang harta
warisan itu, semuayna udah terjadi, nasi sudah jadi bubur.
Kamu San.. cepat mandi,
nanti telat sekolah.”
Dengan wajah cemberut, Santi
langsung pergi kekamarnya untuk mengambil handuk, lalu dia pergi kamar mandi dengan langka yang cepat, dan Rio pergi
kehalaman rumah untuk mencari angin segar, sedangkan Fatimah melajutkan pekerjaannya.
Setelah selesai mandi, dia
memakai seragam sekolah, lalu Santi melihat jam dinding, ternyata jam sudah menunjukan pukul
07.15 pagi, dia bergegas pergi ke sekolah sambil pamit pada ibunya.
(Menyalami Fatimah) “Bu, Santi pergi dulu...”
“ Gak makan dulu nak?” Balas Fatimah
“nggak bu, takut telat.
Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam.. hati-hati ya nak.”
“Iya bu.” Sambil
melangkahkan kaki di anak tangga rumahnya.
Dalam hati Fatimah, dia merasa sedih
karena tidak mampu memenuhi permintaan anak gadisnya tersebut. Fatimah hanya
bisa berdoa, memohon pada Allah untuk memberikan jalan supaya anaknya bisa
kuliah.
Santi pergi kesekolah naik angkot, selama di perjalan kesekolah, Santi
selalu memikirkan bagaiman
caranya untuk mendapatkan uang untuk biaya kuliah, sehingga dia merasa putus asa, oleh
sebab itu dia hanya melamun.
Sesampai disekolah, dia turun dari angkot dan
langsung disamperin oleh sahabatnya, Lia.
“Pagi san!!” Ucap Lia pada sahabatnya tersebut.
“Pagi Lia!!” Balas Santi dengan nada yang lemah.
“Kenapa kamu san? Kok nggak semangat
gitu? Masih pagi lho!!” Tanya Lia yang
bingung melihat tingkah temannya tersebut.
“ Nggak kenapa-napa kok.”
“Kamu sakit ya?” Sambil meletakan tangannya di kening
Santi.
“Enggak kok..”
Teng…teng…teng… (Lonceng tanda masuk
pun berbunyi.)
“ Masuk kelas yuk San?” Sahut Lia menarik tangan Santi.
“Yuk.”
Balas Santi menyetujui ajakan temannya terrsebut.
Di sekolah, Santi dikenal sebagai
anak yang berprestasi, dia selalu masuk tiga besar. Pagi itu Santi belajar
biologi, pelajaran yang paling disukai oleh Santi, guru biologinya adalah Ibu
Mimi, Ibu Mimi sangat sayang pada Santi.
Hari itu, sikap Santi tidak seperti
biasanya, biasanya Santi aktif dalam kelas, tapi dia hanya melamun saat
pelajaran berlangsung. Ibu Mimi menjadi heran dengan sikap Santi seperti itu. Sehabis
jam pelajaran, tepatnya waktu isirahat, Ibu Mimi langsung menghampiri Santi.
” Kamu kenapa San? Kok ngelamun aja? Tanya Bu Mimi sambil memegang
bahu Santi.
“ Enggak kenapa-napa kok bu.” Balas Santi pada gurunya.
“ Emangnya pelajaran yang ibu berikan tadi susah dimengerti
ya?”
“Enggak bu, pelajaran tadi asyik
kok..!”
“ Kamu bohong ya?? Kalau
enggak, apa penyebab kamu seperti ini?”
“Anu bu..” Santi gugup.
“Anu apa San?” Tanya Bu Mimi heran.
“Enggak bisa saya sebutin bu..”
“O.. gitu, kamu malu nyebutin disini
ya? Kamu takut kedengaran sama teman-teman?”
“Iya bu, Santi malu didengar
teman-teman.”
“Mmm... kamu
udah makan apa belum?”
“Belum bu.. emangnya
kenapa?.”
“Kalau begitu, ayo ikut ibu ke kantin
biar ibu yang nraktir kamu. Di kantin aja kamu ceritakan.”
“Baik bu.”
Lalu mereka pergi meinggalkan kelas menuju kantin sekolah. Sesampai di kantin Ibu Mimi dan Santi langsung
duduk. Tidak berselang beberapa menit, pelayan kantin pun datang menghampiri
mereka.
“Mau pesan apa bu?” Tanya pelayan.
“ Kamu makan apa San?” Tanya Bu Mimi pada Santi.
“ Nasi goreng aja bu.”
“ Kebetulan selera kita sama.”
“Nasi goreng aja dua piring ya mas..” Sahut Bu Mimi pada pelayan.
“ Baik bu, tunggu sebentar ya.”
Sambil menunggu nasi goreng yang
mereka pesan, Ibu mimi yang penuh tanda tanya terhadap sikap Santi, membuat dia
kembali membuka percakapan.
“ San, jadi apa yang membuat
kamu jadi melamun seperti dikelas tadi?”
“Kalau udah tamat sekolah nanti, Santi
pengen kuliah bu, tapi keluarga Santi nggak punya uang.”
“ Emangnya pekerjaan ibu dan
ayahmu apa?”
“Ayah Santi udah empat tahun yang lalu
meninggal bu, ibu Santi cuma petani di sawah, itu pun sawah
milik orang lain yang digarap ibu. Kakak Santi kerjanya cuma ngojek bu.” Air mata Santi meluncur.
“ Ibu turut prihatin terhadap keadaanmu ya
San. Kamu jangan nangis begitu dong.. masalah biaya buat kuliah nggak usah kamu
pikirin, kan ada beasiswa dari pemerintah, yang penting kamu pertahankan
prestasimu, kalau perlu kamu tingkatkan. Sekarang,
hapus dulu air matamu” Ucap Bu Mimi
sambil memberikan tisu yang terletak diatas meja kanti kepada muridya tersebut
“ Serius bu??” Dengan wajah tidak percaya.
“Serius San.. Nah jangan melamun lagi
ya, nanti prestasinya menurun lho.
Kamu harus tetap semagat, biar dapat beasiswa” Kata Bu Mimi
menyemangati Santi
“Oke bu.”
Tidak lama kemudian, nasi goreng
yang mereka pesan pun datang.
“
Ini nasi gorengnya bu.” Ucap pelayan sambil meletakan nasi
goreng keatas meja.
“ Makasih mas..” Balas Bu Mimi.
Mereka pun memakan nasi goreng
yang terhidang di meja makan. Setelah selesai makan Santi kembali
kekelas, sedangkan Ibu Mimi tinggal di kantin, karena ada keperluan lain. Hari
itu, Santi
kembali ceria, dia tidak melamun lagi saat pelajaran berlangsung.
Singkat cerita, lonceng tanda pulang pun
berbunyi, Santi langsung pulang kerumah dengan menaiki angkot. Setelah sampai di rumah,
dia langsung masuk.
“Assalamu’alakum bu…” Menghampiri lalu menyalami Fatimah,
(Dengan sedikit heran melihat Santi) Wa’alaikum salam San.. kamu kenapa San? Kok begitu ceria? Perasaan
pagi tadi kamu masih cemberut gara-gara mikirin biaya kuliah.
“Tadi di sekolah, guru Santi ngomong kayak gini, kalau
masalah biaya kuliah jangan dipikirin, katanya ada beasiswa dari pemerintah.
Doa’in Santi ya bu.. mudah-mudahan Santi dapat beasiswa.” Ucap Santi menirukan kata gurunya.
“Amin.. Pasti ibu doa’in, kan anak ibu”
“Makasih bu..” Santi memeluk Fatimah.
top... ser..terus berlatih dan rajin membaca yooooo..... sukses selalu....
BalasHapuscerpen nya bagus
BalasHapusaku ga tau udah berapa lama kamu nulis
tp setelah aku baca, aku ngerasa cerpen kamu masih kaku.
bukan mencerca atau memjelekkan, ataupun sok tau
coba kamu berbahasa lebih menarik lagi, pasti jg orang baca nya juga lebih tertarik
padahal ide cerita kamu bagus lo
coba kita liat sasaran cerita pada siapa, anak SMA kan ?!
nah aku rasa sih anak SMA pasti udah mumet sama hal yg kaku kyk pelajaran mereka kan ?!
di situ cb bikin bahasa yg lebih menarik lg
maap yak coret2 ga jelas akunya disini
sok2 an lagi
hehe
saran sebagai pembaca
jujur ya.. ini yang pertamakali saia menulis, pantesan sedikit ancur.. hehehee.. makasih ya atas kritikan dan sarannya, soalnya mau saya coba ikut lomba.
BalasHapus