Terhanyut dalam kejayaan sejarah masa lalu, itulah yang sedang
menggerogoti masyarakat Minangkabau saat ini. Betapa banyak tokoh-tokoh
nasional yang lahir dari rahim ranah bundo ini, sebut saja Buya Hamka, Sutan Syahrir,
Bung Hatta, Tan Malaka, dan banyak lagi. Dengan banyaknya tokoh pergerakan dan
perjuangan kemerdekaan tersebut menempatkan Minangkabau sebagai suku bangsa
yang sangat di segani di Indonesia. Namun melahirkan kembali tokoh-tokoh yang
serupa dengan tokoh-tokoh masa alu nampaknya masih menjadi persoalan di ranah
Minang ini, bahkan boleh dibilang Minangkabau sedang “mandul” untuk mencetak
generasi emas selanjutnya.
Sebenarnya kesadaran akan permasalahan ini sudah dirasakan oleh
setiap unsur masyarakat Minangkabau, baik pemangku adat maupun pemerintah yang
berkuasa di Sumatera Barat. Seperti program “babaliak ka nagari”, “babaliak ka
surau”, dan magrhrib mengaji adalah upaya-upaya untuk mengembalikan marwah
Minangkabau sebagai suku bangsa yang di segani seantero Indonesia. Namun hasil
yang diharapkan belum maksimal, karena nyatanya program tersebut tidak
dijalankan sepenuhnya seperti “babaliak ka surau” tersebut. Permasalahan yang
makin hari makin menjadi adalah makin mundurnya moral masyarakat Minangkabau,
terutama generasi mudanya, dikutip dari Sumbar1.com bahwa menurut Dewan
Pendidikan Kota Payukumbuh menyatakan hampir 50% remaja perempuan di Kota
Payakumbuh tidak lagi perawan.
Gambaran tersebut bukanlah mewakili Minangkabau secara keseluruhan,
namun yang perlu diingat karena hal ini sangat ironis mengingat Kota Payakumbuh
termasuk luhak nan tigo (luhak nan bungsu) di daerah Minangkabau, dan
Minangkabau juga merupakan suku yang menganut falsafah adat bersendi sarak,
sarak bersend kitabullah. Rasanya makin jauh harapan untuk mengembalikan marwah
Minangkabau sebagai pencetak tokoh-tokoh sekaliber Buya Hamka, karena kondisi
sosial saat ini sangatlah jauh dari kondisi sosial di ranah Minang semasa Buya
Hamka muda dahulu. Pantas Jusuf Kalla mengingatkan kepada pemuda Minang agar
tidak hanyut dalam sejarah masa lalu. Kritikan-kritikan dari luar diharapkan
menjadi penyadar agar generasi Minang bisa bercermin diri melihat kenyataan
saat ini.
Meminangkabaukan generasi muda Minangkabau, tidak bermaksud untuk
mengatakan bahwa generasi yang hidup di Minangkabau saat ini bukanlah warga
Minangkabau, namun meminangkabau disini adalah mengembalikan nilai-nilai
Minangkabau ke generasi muda yang sudah jauh dari nilai-nilai Minangkabau
meskipun hidup di tanah Minangkabau. Bukan perkara mudah untuk meminangkabaukan
generasi muda Minangkabau, mengingat program-program yang sudah dilakukan
seperti “babaliak kasurau” atau “maghrib mengaji” di beberapa daerah di
Minangkabau, namun hasilnya masih nihil. Meskipun terdapat program yang
mengajak kepada kebaikan, sayangnya masih terdapat kebebasan dalam melakukan
maksiat, seperti bebasnya orgen tunggal dengan artis yang tidak berpakaian
sopan.
Dalam hal ini pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus membuat
aturan yang lebih tegas, seperti yang dilakukan Bupati Padang Pariaman, Peraturan
Bupati Padang Pariaman Nomor 13 Tahun 2016 tentang Penertiban Orgen Tunggal
yang diundangkan pada tanggal 3 Maret 2016. Yang berisi empat peraturan: Pertama, Setiap
orang atau badan dilarang mengadakan hiburan orgen tungggal yang tidak sesuai
dengan norma agama, norma adat dan norma kesopanan. Kedua, Penyelenggaraan
orgen tunggal hanya dibolehkan dari Pukul 08.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB.
Ketiga, Hiburan orgen tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat
izin dari Wali Nagari. Keempat, ketentuan pemberian izin hiburan orgen tunggal
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Nagari. Perbup akan diedarkan dan
disosialisasikan kepada pemerintah Kecamatan, Nagari, Ormas dan seluruh lapisan
masyarakat. Peraturan yang dibuat di Padang Pariaman ini seharusnya juga dibuat
menyeluruh di Minangkabau (Sumatera
Barat) agar bisa menekan kesempatan generasi muda berbuat maksiat. Selain itu
peraturan yang tegas seperti pembatasan jam malam bagi perempuan bahwa tidak
boleh keluar rumah diatas jam 23:00 jika tanpa mahramnya juga bisa menjadi
solusi, meskipun nantinya mendapatkan kecamanan dari berbagai pihak karena
dianggap diskriminatif terhadap perempuan, namun kembali kepada falsafah adat
yang dipakai di Minangkabau “adat bersandi sarak, sarak bersandi kitabullah”,
maka aturan-aturan yang dibuat haruslah mengaju kepada falsafah tersebut,
jangan sampai falsafah Minangjabau yang selalu dibanggakan tersebut dipreteli
atas HAM yang hanya mengacu pada HAM dunia barat.
Peraturan ditingkat penguasa juga harus didukung oleh masyarakat
Minangkabau itu sendiri, bukan bermaksud sukuisme, namun kecintaan terhadap
suku bangsa sendiri adalah modal untuk membangun kembali marwah suku bangsa
tersebut. Orangtua di Minangkabau haruslah melek teknologi, terutama media
sosial, karena anak muda saat ini sebagian besar waktunya dihabiskan di media
sosial, jika melarang untuk menggunakan media sosial adalah pekerjaan yang
sulit, namun memberikan pengajaran dan pengawasan adalah langkah yang bisa
diterima oleh anak. Salah satu bentuk pengawasan adalah dengan memiliki media
sosial itu sendiri, dengan memiliki media sosial seperti facebook, twitter,
atau intagram, maka orangtua bisa mengawasi anaknya lewat media sosial tersebut.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar