Sabtu, 07 Januari 2017

Me"Minangkabau"kan Generasi Muda Minangkabau


Terhanyut dalam kejayaan sejarah masa lalu, itulah yang sedang menggerogoti masyarakat Minangkabau saat ini. Betapa banyak tokoh-tokoh nasional yang lahir dari rahim ranah bundo ini, sebut saja Buya Hamka, Sutan Syahrir, Bung Hatta, Tan Malaka, dan banyak lagi. Dengan banyaknya tokoh pergerakan dan perjuangan kemerdekaan tersebut menempatkan Minangkabau sebagai suku bangsa yang sangat di segani di Indonesia. Namun melahirkan kembali tokoh-tokoh yang serupa dengan tokoh-tokoh masa alu nampaknya masih menjadi persoalan di ranah Minang ini, bahkan boleh dibilang Minangkabau sedang “mandul” untuk mencetak generasi emas selanjutnya.

Sebenarnya kesadaran akan permasalahan ini sudah dirasakan oleh setiap unsur masyarakat Minangkabau, baik pemangku adat maupun pemerintah yang berkuasa di Sumatera Barat. Seperti program “babaliak ka nagari”, “babaliak ka surau”, dan magrhrib mengaji adalah upaya-upaya untuk mengembalikan marwah Minangkabau sebagai suku bangsa yang di segani seantero Indonesia. Namun hasil yang diharapkan belum maksimal, karena nyatanya program tersebut tidak dijalankan sepenuhnya seperti “babaliak ka surau” tersebut. Permasalahan yang makin hari makin menjadi adalah makin mundurnya moral masyarakat Minangkabau, terutama generasi mudanya, dikutip dari Sumbar1.com bahwa menurut Dewan Pendidikan Kota Payukumbuh menyatakan hampir 50% remaja perempuan di Kota Payakumbuh tidak lagi perawan.
Gambaran tersebut bukanlah mewakili Minangkabau secara keseluruhan, namun yang perlu diingat karena hal ini sangat ironis mengingat Kota Payakumbuh termasuk luhak nan tigo (luhak nan bungsu) di daerah Minangkabau, dan Minangkabau juga merupakan suku yang menganut falsafah adat bersendi sarak, sarak bersend kitabullah. Rasanya makin jauh harapan untuk mengembalikan marwah Minangkabau sebagai pencetak tokoh-tokoh sekaliber Buya Hamka, karena kondisi sosial saat ini sangatlah jauh dari kondisi sosial di ranah Minang semasa Buya Hamka muda dahulu. Pantas Jusuf Kalla mengingatkan kepada pemuda Minang agar tidak hanyut dalam sejarah masa lalu. Kritikan-kritikan dari luar diharapkan menjadi penyadar agar generasi Minang bisa bercermin diri melihat kenyataan saat ini.
Meminangkabaukan generasi muda Minangkabau, tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa generasi yang hidup di Minangkabau saat ini bukanlah warga Minangkabau, namun meminangkabau disini adalah mengembalikan nilai-nilai Minangkabau ke generasi muda yang sudah jauh dari nilai-nilai Minangkabau meskipun hidup di tanah Minangkabau. Bukan perkara mudah untuk meminangkabaukan generasi muda Minangkabau, mengingat program-program yang sudah dilakukan seperti “babaliak kasurau” atau “maghrib mengaji” di beberapa daerah di Minangkabau, namun hasilnya masih nihil. Meskipun terdapat program yang mengajak kepada kebaikan, sayangnya masih terdapat kebebasan dalam melakukan maksiat, seperti bebasnya orgen tunggal dengan artis yang tidak berpakaian sopan.
Dalam hal ini pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus membuat aturan yang lebih tegas, seperti yang dilakukan Bupati Padang Pariaman, Peraturan Bupati Padang Pariaman Nomor 13 Tahun 2016 tentang Penertiban Orgen Tunggal yang diundangkan pada tanggal 3 Maret 2016.  Yang berisi empat peraturan: Pertama, Setiap orang atau badan dilarang mengadakan hiburan orgen tungggal yang tidak sesuai dengan norma agama, norma adat dan norma kesopanan. Kedua, Penyelenggaraan orgen tunggal hanya dibolehkan dari Pukul 08.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB. Ketiga, Hiburan orgen tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat izin dari Wali Nagari. Keempat, ketentuan pemberian izin hiburan orgen tunggal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Nagari. Perbup akan diedarkan dan disosialisasikan kepada pemerintah Kecamatan, Nagari, Ormas dan seluruh lapisan masyarakat. Peraturan yang dibuat di Padang Pariaman ini seharusnya juga dibuat menyeluruh di  Minangkabau (Sumatera Barat) agar bisa menekan kesempatan generasi muda berbuat maksiat. Selain itu peraturan yang tegas seperti pembatasan jam malam bagi perempuan bahwa tidak boleh keluar rumah diatas jam 23:00 jika tanpa mahramnya juga bisa menjadi solusi, meskipun nantinya mendapatkan kecamanan dari berbagai pihak karena dianggap diskriminatif terhadap perempuan, namun kembali kepada falsafah adat yang dipakai di Minangkabau “adat bersandi sarak, sarak bersandi kitabullah”, maka aturan-aturan yang dibuat haruslah mengaju kepada falsafah tersebut, jangan sampai falsafah Minangjabau yang selalu dibanggakan tersebut dipreteli atas HAM yang hanya mengacu pada HAM dunia barat.

Peraturan ditingkat penguasa juga harus didukung oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri, bukan bermaksud sukuisme, namun kecintaan terhadap suku bangsa sendiri adalah modal untuk membangun kembali marwah suku bangsa tersebut. Orangtua di Minangkabau haruslah melek teknologi, terutama media sosial, karena anak muda saat ini sebagian besar waktunya dihabiskan di media sosial, jika melarang untuk menggunakan media sosial adalah pekerjaan yang sulit, namun memberikan pengajaran dan pengawasan adalah langkah yang bisa diterima oleh anak. Salah satu bentuk pengawasan adalah dengan memiliki media sosial itu sendiri, dengan memiliki media sosial seperti facebook, twitter, atau intagram, maka orangtua bisa mengawasi anaknya lewat media sosial tersebut.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar