Pergeseran nilai-nilai yang dianut
masyarakat tidak terlepas dari kemajuan teknologi atau yang lebih dikenal
dengan istilah modernisasi. Dalam era globalisasi dan modernisasi dewasa ini,
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tidak sepenuhnya membawa pengaruh
positif untuk generasi muda Minangkabau. Seperti pepatah masyarakat Minangkabau
“dalam satandan karambie, pasti ado nan sompong”.
Dalam segi positif, tentunya kemajuan teknologi banyak membawa manfaat dalam
masyarakat Minangkabau, namun tidak salah jika lebih bijak dan objektif menilai dengan
membeberkan segi negatifnya. Salah satu segi negatif dari kemajuan teknologi
adalah merusak dan merubah tatanan dalam masyarakat Minangkabau. Hilangnya
moral remaja Minangkabau yang tidak lagi berlandaskan Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah sepertinya ingin dibendung oleh pemuka adat dan stakeholder-stakeholder yang adat di Sumatera
Barat. Misalnya Pemerintah Kota Pariaman telah mencanangkan himbauan babaliak kasurau kepada masyarakat Minangkabau,
hal itu sangat perlu karena dapat dirasakan bahwa masyarakat telah jauh
meninggalkan kebudayaan dan adat istiadat Minangkabau. Banyak kalangan menilai
jika arti babaliak kasurau ini adalah
kembali ke mesjid untuk belajar Al-Qur,an, sehingga pengertian yang begitu sempit
tersebut telah membawa kita kepada asumsi jika himbauan tersebut cuma untuk
anak muda atau kaula muda di Minangkabau. Secara umum himbauan tersebut dapat
kita artikan bahwa pemerintah telah mencanangkan program babaliak kasurau untuk masyarakat segala lapisan, karena yang di
maksud babaliak kasurau adalah
kembali ke nilai-nilai luhur yang pernah di anut oleh masyarakat Minangkabau
sebelum era globalisasi yang merusak segalanya. Tapi himbauan tersebut
sepertinya tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada inisiatif dari
masyarakat untuk kembali ke nilai-nilai Adat Minangkabau.
Hilangnya
kontrol sosial dalam masyarakat
Dalam masyarakat, setiap tindakan
individu ada batasnya, karena individu merupakan makhluk yang egois, sehingga
diperlukan masyarakat untuk membatasi dan sebagai alat pengontrol tindakan
individu tersebut. Kontrol sosial yang kurang berjalan dari stakeholder-stakeholder yang ada di masyarakat
Minangkabau sehingga para remaja banyak melanggar nilai-nilai dan norma-norma
yang akibatnya akan terjadi kenakalan remaja atau penyimpangan sosial. Stakeholder disini adalah keluarga, kepala
desa, ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Paman yang telah permisif, serba
boleh dan hanya cuek, misalnya ketika mengetahui keponakannya berpacaran paman
seakan membolehkan hal tersebut, padahal fungsi paman dalam hal ini adalah
mengawasi setiap tindakan keponakannya. Sifat permisif ini merupakan salah satu
penyebab hancurnya moral generasi muda Minangkabau. Kurang berjalannya norma
sosial merupakan penyebab utama rusaknya kontrol sosial di dalam masyarakat. Padahal
secara hiastoris masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai adat dan agama. Hal ini tentunya menjadi bahan evaluasi kita bersama.
Minangkabau kehilangan arah
Minangkabau seakan telah kehilangan
arah, hilangnya jati diri masyarakat karena
dasar dalam bertindak tidak ada lagi, dan cendrung mainstream terhadap
budaya asing, padahal kita paham bahwa budaya asing tersebut tidak sesuai
dengan budaya Minangkabau. Contoh kecilnya saja adalah hilangnya tradisi
pamakaian baju kuruang oleh kaum hawa, remaja perempuan sering memakai pakaian
ketat yang notabenenya bukanlah ciri dari kebudayaan Minangkabau. Tidak adanya
peraturan untuk membatasi masuknya pakaian-pakaian tersebut dan kurangnya
peraturan dalam masalah tersebut disinyalir merupakan penyebab hilangnya eksistensi baju kuruang di tengah-tengah
masyarakat Minangkabau. Dapat di pastikan bahwa hanya kaum ibiu-ibu yang masih
menggunakan baju kuruang, itupun cuma saat menghadiri pesta pernikahan ataupun
saat arisan.
Minangkabau merupakan suku yang
banyak mencetak tokoh-tokoh nasional dan ulama terkenal di Indonesia. Kehebatan
para tokoh-tokoh tersebut turut mengharumkan nama Indonesia dan Minangkabau
secara khususnya di mata dunia, namun setelah Minangkabau kehilangan para tokoh
tersebut, seperti buya hamka, mohamad hatta, dan tokoh besar lainnya
mengisyaratkan bahwa Minangkabau harus secepatnya melahirkan tokoh besar untuk melanjutkan
estafet kejayaan Minangkabau dalam mencetak sejarah. Namun sampai saat ini
belum ada tokoh-tokoh seperti mereka, bahkan harapan itu seakan mustahil
tercipta jika melihat realitas sosialnya di masyarakat Minangkabau, melahirkan
tokoh-tokoh nasional bukanlah perkara mudah jika secara budaya telah banyak
terpengaruh oleh budaya barat, oleh sebab itu budaya tersebut secepatnya di
tanggalkan oleh kaula muda Minangkabau dan kembali kepada nilai-nilai luhur
yang telah diwariskan nenek moyang masyarakat Minangkabau.
Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah?
Islam dibawa dan dikembangkan di Minangkabau
oleh Syekh Burhanudin. Beliau belajar agama Islam ke Aceh, gurunya bernama
Syekh Abdurrauh. Tidak diketahui secara pasti pada tahun berapa Islam
dikembangkan oleh Syekh Burhanudin di Minangkabau, namun yang pasti Syekh Burhanudin
mengembangkan Islam di Minangkabau bukan dengan cara perperangan, tapi secara
musyawarah, Syekh Burhanudin mengembangkan Islam menggunakan konsep Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Hal itu dilakukan agar Islam
diterima oleh pemimpin adat dikala itu, karena para pemimpin adat
mengkhawatirkan jika agama yang dikembangkan oleh Burhanudin akan merusak
budaya Minangkabau, namun setelah
Burhanudin memastikan agama Islam sejalan dengan adat Minangkabau, maka
diterimalah agama Islam di Minangkabau dan menggantikan aninesme yang
sebelumnya dianut oleh masyarakat Minangkabau. Setelah abad ke-21 ini, konsep Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sepertinya telah luntur di
tengah-tengah masyarakat, hal ini tidak lepas dari kemajuan teknologi dan
informasi yang tidak difilter oleh masyarakat. Masyarakat sifatnya mengikuti
apa yang ditawarkan oleh budaya barat, dan alim ulama minang juga tidak terlalu
responsif terhadap masalah sosial ini.
Iri
kepada Aceh
Aceh sangat pantas di contoh dalam
peraturan pemerintahnya, melarang warga memakai pakaian ketat, terutama
perempuan karena tidak sesuai dengan peraturan dan nilai-nilai agama Islam
membuat kita boleh sedikit iri kepada Propinsi Aceh. Jangan kita memandang jika
Aceh itu merupakan daerah yang di beri otonomi khusus oleh pemerintah pusat
dalam mengatur daerahnya, bukankah kita tidak ingat bahwa masyarakat Minangkabau
adalah orang Islam dan yang non Islam bukanlah masyarakat Minangkabau, namun
pada kenyataannya syariat-syariat Islam itu sendiri yang tidak diterapkan di Minangkabau.
Jika Minangkabau merupakan suku berkonsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah, tidaklah salah jika membuat peraturan adat untuk mengatur masyarakat
dan mengarahkan kepada ajaran Islam.
Disaat Aceh melarang perayaan tahun
baru, di Minangkabau ribuan umat Islam merayakannya. Seakan membentuk paradigma
bahwa Minangkabau bukanlah suku berlandaskan Islam. Ini menunjukan lemahnya pengawasan
dan fungsi ulama di Minangkabau. Sebagai panutan masyarakat, ulama sepatutnya
membuat kebijakan pelarangan ataupun mengharamkan merayakan tahun baru oleh
umat Islam Minangkabau. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah pemerintah kota
salah satu kota di Sumatera Barat ikut dalam penyambutan tahun baru dengan
pesta kebang api yang didanai oleh pemerintah kota itu sendiri. Sedangkan tahun
baru Islam sendiri seakan tidak terdengar jika ada kegiatan merayakan tahun
baru Islam di Minangkabau.
Selamatkan
Minangkabau, selamatkan generasi mudanya.
Untuk melanjutkan tongkat estafet
dari adat istiadat Minangkabau, tentunya pihak yang melanjutkan harus pantas
dan mengerti adat istiadat tersebut. Generasi muda Minangkabau harus memenuhi
kriteria tertentu agar pantas mewarisi adat istiadat Minangkabau, diantaranya
adalah beriman, berakhlak, dan berpendidikan. Ada beberapa pekerjaan rumah yang
musti terelebih dahulu dikerjakan oleh masyarakat, maupun stakeholder-stakeholder di Minangkabau agar tercapai generasi muda
yang sehat dan siap melanjutkan tongkat estafet tersebut. Membersihkan dan
menjauhkan para remaja Minangkabau dari minuman keras, judi, dan seks diluar
nikah adalah persoalan yang sampai sekarang belum mampu diatasi oleh lembaga
adat seperti ninik mamak, alim ulama, maupun cadiak pandai. Penyakit masyarakat
dan penyimpangan sosial tersebut bagaikan benalu yang hidup ditengah-tengah masyarakat
beradat ini dan lama kelamaan akan membunuh adat istiadat beserta norma-norma
dan nilai-nilainya. Secara sosiologis bahwasanya yang menjadi persoalan utama
adalah lemahnya kontrol sosial yang dari masyarakat. Padahal kontrol sosial dan
nilai-nilai ibarat dua sisi mata uang. Ketika kontrol sosial tidak ada, maka
norma-norma dan nilai-nilai akan luntur serta akan menimbulkan penyimpangan
sosial dan penyakit masyarakat. Kritik yang pantas dilontarkan terhadap “tungku tigo sajarang”, agar mereka
mengintrospeksi bagaimana tugas mereka selama ini, tetapi masyarakat juga
pantas mendapatkan kritikan, karena kunci utama untuk menciptakan generasi yang
sehat adalah adanya inisiatif dari mesyarakat dan cara yang tepat untuk menyelamatkan
adat istiadat Minangkabau yang berlandaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah adalah selamatkan dulu generasi mudanya dari kehancuran moral.
Pergesaran nilai-nilai yang dianut
masyarakat Minangkabau sampai saat ini telah merubah wajah Minangkabau.
Mempertahankan nilai-nilai luhur merupakan hal yang mustahil, karena perubahan
itu adalah sesuatu yang pasti, walaupun
kita tidak bisa menghentikan perubahan tersebut, namun kita bisa menangkal
perubahan ke arah negatif, mengarahkan perubahan agar tetap dijalur yang
diridhoi Allah SWT, berdasarkan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
sebagaimana prinsip masyarakat Minangkabau sejati dan generasi muda Minangkabau
akan mampu meraih prestasi dan membuat sejarah baru dikancah nasional, maupun
internasional jika generasi mudanya kembali sehat dan berpegang teguh pada
Al-Qur,an dan hadist.
-Yaser Arafat-
Tidak ada komentar :
Posting Komentar