Siang itu setelah melatih PBB di SDN 02 Koto Baru,
kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Saya, Dio, dan Haris diajak oleh
anak-anak SDN 02 Koto Baru ke air terjun yang terkenal masyur di nagari tersebut, air terjun Ngarai warga setempat menamainya. Kami bertiga sebagai mahasiswa KKN tentunya sangat antusias untuk
melihat keindahan yang tersembunyi dibalik hutan belantara yang begitu rimbun. Para pendatang tentunya tidak percaya akan adanya air terjun tersebut jika melihat hutan dan perbukitan yang begitu menyeramkan. Tepat
pada pukul 1 siang setelah selesai shalat Dzuhur, anak-anak SD
memenuhi janjinya untuk mengajak kami ke air terjun yang belum bisa kami bayangkan rupa dan bentuk keindahannya. Terbayang oleh kami
perjalanan yang indah menembus hutan yang belum terjamak oleh tangan jahil
manusia. Hutan yang asri adalah tempat favorit bagi saya yang begitu mencintai ketenangan. Perjalanan kami dimulai, meskipun tanpa persiapan yang matang, karena hati ini
telah penuh dengan rasa penasaran dalam beberapa hari ini. Bagaimana
tidak, setiap hari selalu mendapatkan pertanyaan dari warga, apakah kami sudah
ke air terjun ngarai? Jika belum, maka belum lengkap rasanya KKN di Nagari yang
terletak di kaki Marapi ini.
Saya, Dio, dan Haris memulai perjalanan dengan ditemani
oleh sembilan orang anak-anak SDN 02 Koto Baru. Berjalan dari penginapan kami lewat jalan Nagari yang diperjalanan disuguhkan dengan pepohonan dan batang bambu yang begitu banyak. Mengolah bambu adalah salah satu mata pencarian warga Koto Baru, mulai dari batang yang dimanfaatkan untuk membuat kandang ternak hingga rabung (tunas bambu yang masih kecil) dimanfaatkan oleh warga sebagai bahan makanan. setelah menempuh sekitar 500 Meter perjalanan, kami pun tiba di gerbang rimba jalan menuju air terjun Ngarai. Gerbang yang membuat setiap pendatang takut sekaligus penasaran
untuk memasukinya. Di Gerbang awal terdapat persawahan, hamparan sawaha yang
hijau seakan-akan menunjukan kepada kami perjalanan akan indah sampai pada tempat
tujuan. Setelah melewati persawahan, kami memasuki hutan yang rimbun, jalan setapak pun kami injaki. Pepohonan
yang menjulang tinggi, semilir angin berhembus dari arah puncak gunung,
ditambah indahnya suara burung menemani perjalanan kami. Makin kedalam, kami
makin penasaran. Sekelompok anak-anak yang sudah barang pasti telah hafal jalan
menuju air terjun Ngarai menunjukan pada kami buah arberi, mereka menyebutnya buah abai. Warna dan bentuknya hampir mirip
dengan buah strawberry, bahkan rasanya tidak kalah enaknya dengan rasa buah
strawberry tersebut. Batangnya penuh dengan duri, namun kami melihat keberanian
anak-anak Koto Baru mengambil buah tersebut meski bahaya duri menembus kulit
mengancam. Diambilnya satu dan langsung dimakannya, Saya awalnya tidak percaya
jika buah tersebut dapat dimakan, Saya diberi satu biji, dan mencobanya.
Pertama kali mencoba, Saya kira buah ini adalah buah strawberry, begitupun Dio
dan Haris. Kami mendapat kesempatan memetik buah ini dari batangnya sekaligus
memakannya ditempat.
Kami berusaha untuk mengumpulkannya, karena ingat
teman-teman perempuan kami yang kami tinggalkan, pasti mereka juga suka buah
ini. Dapat bebrapa buah dan Saya simpan untuk dibawa pulang. Namun niat kami untuk membawakan teman perempuan kami buah abai ini batal, lantaran buah abai tersebut hancur di dalam kantong karena empuknya. Perjalanan kami
lanjutkan, mendaki dan licin. Anak-anak mulai melepakan sandalnya, begitu pun
teman Saya, Dio dan Haris, tanpa pikir panjang juga mengikuti tindakan anak-anak tersebut dengan ikut melepaskan sandalnya. Namun
Saya tidak melepaskan sandal, karena khawatir terhadap duri-duri yang bertebaran
di jalan. Dalam perjalanan yang cukup panjang, banyak keindahan alam yang kami
temui, mulai dari batu janjang. Sekumpulan batu yang sangat mirip dengan tangga
(janjang) yang dibentuk oleh aliran sungai, sungai kecil yang mengalir dan berhulu dari air terjun Ngarai. Saya pribadi tidak percaya akan
hal itu, karena bentuk batu yang rapi, persis seperti tangga mengisyaratkan jika batu itu adalah
bikinan manusia, namun tidak mungkin juga rasanya jika didalam rimba ini
manusia harus bersusah payah mengukir batu yang tidak ada gunanya secara
materil dan ekonomis.
Sebagai pendatang yang gila berfoto, mulai dari buah abai sampai ke batu janjang ini, kami
selalu berfoto. Fotografer yang handal adalah Haris, teman Saya ini sukanya
memoto, tapi tidak suka jika difoto. Dialah yang mengambil gambar kami untuk
kenangan dan bukti jika kami pernah kesini. Setelah melewati batu janjang,
perjalanan kami lanjutkan, tanah yang lembab mebuat kami harus berhati-hati
dalam melangkah, karena jika salah langkah, bisa saja kami kepleset dan jatuh.
Anak-anak SD pemandu kami bersorak mengingatkan untuk mengangkat tangan keatas,
karena ada pohon jelatang ayam. Pohon
yang terkenal dengan penyakit gatal-gatal jika kulit kita mennyentuhnya.
Intruksi mengangkat tangan tersebut bertujuan agar tangan kami terhindar dari
daun jelatang ayam yang tingginya
setinggi pinggang.
Tidak terasa perjalanan kami telah memakan waktu 20
menit, namun rasanya baru beberapa menit saja, karena kami telah terhipnotis
dengan keindahan alam yang terhampar disetiap perjalanan. Setelah menempuh
perjalanan kurang lebih 30 menit, kami akhirnya sampai kepada tujuan yang
sebenarnya. Air terjun ngarai, rasa lelah langsung terbayar lunas setelah
melihat keindahan iar terjun ini, ditambah suara bunyi gemercik air menimpa bebatuan
dibawahnya. Tanpa pikir panjang kami langsung membasahkan diri dibawah air
terjun. Berdiri dibawah air terjun menikmati timpaan air mengenai kepala kami. Bahkan teman saya, Dio mengatakan jika rasa dipijit ketika air menimpa kepala. Dingin, rasa itu yang kami rasakan, air yang begitu jernih serta belum
terkontaminasi oleh zat apapun. Dan tidak lupa untuk berfoto, mengabadikan
setiap moment perjalanan kami.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar