Sumber Foto: Google |
Dalam
ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah paternity—pengakuan bahwa seorang tokoh
adalah pendiri suatu bidang ilmu dengan memberiikan “Bapak bagi bidang ilmu
tersebut. Dalam sosiologi, tokoh yang dianggap “Bapak sosiologi” adalah August
Comte, sorang ahli filsafat dari Prancis. Reiss, Jr. (1968) berpendapat bahwa
Comte lebih tepat dianggap sebagai Godfather (wali) daripada progenitor
(leluhur) sosiologi karena sumbangan Comte pada pemberian nama dan suatu
filsafat yang membantu perkembangan sosiologi.
Nama
sosiologi memang merupakan hasil ciptaan Comte—suatu gabungan antara kata
Romawi socius dan kata Yunani logos. Coser (1977) mengisahkan bahwa comte
semula bermaksud memberikan nama social physics bagi ilmu yang akan ia
ciptakan, namu kemudia niat itu ia urungkan karena nama itu telah di gunakan
oleh Saint Simon.
Salah
satu sumbangan penting Comte terhadap sosiologi adalah pemikirannya yang ia
utarakan dalam bukunya: Course de Philosophie Positive. Dalam buku itu Comte
mengemukakan pandangannya mengenai “hukum tiga tahap perkembangan manusia”.
Menurut pandangan ini, sejarah manusia akan melewati tiga jenjang yang mendaki:
jenjang teologi, metafisik, dan positif. Pada jenjang pertama manusia mencoba menjelaskan
gejala disekitarnya dengan mengacu pada hal yang bersifat “adikodrati”. Pada
jenjang kedua manusia mengacu pada kekuatan metafisik atau abstrak. Pada
jenjang ketiga yang merupakan jenjang tertinggi, penjelasan gejala alam maupun
sosial dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah-didasarkan ada hukum
ilmiah.
Karena
memperkenalkan metode postif ini, maka Comte dianggap sebagai perintis
Positivisme. Ciri metode ini adalah bahwa objek kajian harus bermanfaat serta
mengarah ke kepastian dan keceramatan. Sarana yang menurut Comte yang dapat
digunakan untuk menjelaskan kajian ialah (1) pengamatan, (2) perbandingan, (3)
eksperimen, dan (4) metode historis.
Bagi
Comte, sosiologi harus mengunakan metode positif karena dalam pandangannya,
sosiologi harus sama iliahnya dengan ilmu alam. Kegiatan kajian sosiologi
yang tidak menggunakan metode (1)
pengamatan, (2) perbandingan, (3) eksperimen, dan (4) metode historis bukanlah
kajian ilmiah melainkan hanya renungan atau khayalan belaka.
Hal
yang menarik dari pandangan Comte adalah bahwa sosiologi menurutnya merupakan
“Ratu ilmu-ilmu sosial” (Reiss, 1968:2). Dalam banyangannya mengenai hirarki
ilmu, sosilogi bahkan menduduki temapt teratas—diatas astronomi, fisika, ilmu
kimia, dan biologi (Coser, 1977).
Sumbangan
pemikiran penting lainnya yang diberikan Comte ialah pembagian sosilogi kedalam
dua bagian besar: statika sosial (social statics)—kajian terhadap tatanan
sosial dan dinamika sosial (social dynamics)—kajian terhadap kemajuan dan
perubahan sosial. Statika mewakili stabilitas dan dinamikan mewakili perubahan.
Dengan memaknai anologi dari biologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara
statika sosial dengan dinamika sosial dapat diasamakan dengan hubungan antara
anatomi dan fisiologi.
Hingga
kini pun klasifikasi Comte masih relevan. Dalam literatur sosiologi masa kini
senantiasa dijumpai ahli sosiologi yang memelajari sosial statistics, melakukan
kajian terhadap tatanan sosial-seperti misalnya kajian terhadap struktur sosial
suatu masyarakat, institusi di dalamnya, hubungan antara institusi, fungsi
institusi, dsb. Namun ada pula ahli sosiologi yang memusatkan perhatiannya pada
sosial dinamics, mengkaji perubahan sosial seperti misalnya perubahan sosial
yang melanda negara baru setelah berakhirnya Perang Dunia II, arah
perubahannya, dampaknya, dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Sunarto,
Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar