Minggu, 18 Juni 2017

Manjadi Urang Minang di Kampuang Urang



Karatau madang di hulu, babungo babuah balun, marantau bujang dahulu, di kampuang baguno balun. 

Bukan sembarang pepatah dalam masyarakat Minang, kalimat tersebut menjadi inspirasi bagi pemuda Minang untuk merantau jauh ke daerah Rantau. Namun sangat di sayangkan, banyak pemuda Minangkabau yang telah merantau di usia muda karena terinspirasi oleh pepatah tersebut, tapi ada pula yang telah lupa dengan kampung halaman sendiri, melupakan kalimat terakhir, jika sudah berguna maka pulang kampung.
Berguna disini diartikan telah berhasil di daerah Rantau, telah menjadi orang kaya dan apa yang dicita-citakan ketika akan pergi merantau telah dapat ia peroleh. Ketika semua yang ia ingini, tak jarang para perantau Minang ini menjadi para perantau China, yaitu merantau China yang tidak akan pulang kampung hingga maut menjemput. 

Ketika perantau tidak pernah pulang kampung, maka anak keturunannya tidak pernah mendapatkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Minangkabau, secara langsung, karena lahir dan besar di daerah Rantau, maka keturunan pertama ini hanya dapat pendidikan akan budaya Minangkabau lewat orangtuanya, namun pengetahuan akan budaya Minang tidak akan maksimal mereka dapatkan. 

Ketika keturunan kedua lahir lewat keturunan pertama yang telah lahir dan besar di derah Rantau, maka nilai-nilai Minangkabau makin jauh mereka dapatkan, karena hanya dapat sentuhan nilai dan budaya Minangkabau lewat orangtuanya yang juga lahir dan besar di daerah Rantau, apakah keturunan ketiga ini masih bisa disebut sebagai orang Minangkabau?  Mungkin mereka saja tidak mengakui sebagai orang Minang.
Banyaknya stereotip negatif tentang masyarakat Minang di alamatkan ke masyarakat Minang, seperti Padang Bengkok, Pelit atau licik dengan pepatah "takuruang nak di lua, tahimpik nak di ateh" membuat anak keturunan Minangkabau merasa "minder" untuk disebut sebagai orang Minang. Mereka lebih memilih disebut sebagai masyarakat tempat dilahirkan, misalnya di daerah Jawa atau sunda, mereka ingin disebut orang Jawa atau sunda ketimbang orang Minang. Padahal stereotip negatif tersebut tidak sepenuhnya benar dalam menggambarkan masyarakat Minang secara keseluruhan, hanya orang yang tidak mengerti sejarah saja yang menganggap orang Minang seperti itu, padahal sejarah mencatat 3 dari 4  bapak pendiri bangsa adalah orang Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau yang hidup di daerah Rantau, seharusnya nilai-nilai yang dianut masyarakat Minang tetap diturunkan kepada anak keturunannya. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar