Oleh: Yaser Arafat
Setiap
tanggal 9 Desember selalu diperingati sebagai hari anti korupsi se-dunia. Penulis
tidak sepakat jika disebut sebagai hari anti korupsi dan lebih sepakat
menyebutnya sebagai Hari Pro Kejujuran, karena penulis berpedoman pada buku “the secret” yang tidak boleh meng-anti-kan
segala sesuatu
(kalau ingin tahu kenapa, silakan baca bukunya). Pada tanggal 9 Desember ini seluruh masyarakat dunia memperingatinya, selama hari ini masih diperingati, selama itu pula korupsi masih merajalela di setiap sendi kehidupan masyarakat, karena logikanya kalau hari anti korupsi tidak diperingati lagi berarti korupsi itu telah lenyap di muka bumi. “Korupsi”, sebuah kata yang sangat bermakna konotasi negatif, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi di artikan sebagai tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi. Karena dampaknya yang begitu besar, oleh sebab itu tindak pidana korupsi sangat tidak bisa diterima ditengah-tengah masyarakat.
(kalau ingin tahu kenapa, silakan baca bukunya). Pada tanggal 9 Desember ini seluruh masyarakat dunia memperingatinya, selama hari ini masih diperingati, selama itu pula korupsi masih merajalela di setiap sendi kehidupan masyarakat, karena logikanya kalau hari anti korupsi tidak diperingati lagi berarti korupsi itu telah lenyap di muka bumi. “Korupsi”, sebuah kata yang sangat bermakna konotasi negatif, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi di artikan sebagai tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi. Karena dampaknya yang begitu besar, oleh sebab itu tindak pidana korupsi sangat tidak bisa diterima ditengah-tengah masyarakat.
Jika
mengambil pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, maka kita bisa
menggambarkan aktor-aktor yang melakukan tindakan adalah para pejabat yang
berpendidikan tinggi. Memang terlalu naif jika hanya mengatakan yang korupsi
itu adalah para pemegang jabatan yang berpendidikan tinggi, karena di lapangan,
setiap elemen masyarakat pernah melakukan tindakan korupsi, baik elemen
ditingkat terendah, seperti masyarakat biasa, hingga tingkat tertinggi, seperti
pemimpin negara. Beragam bentuk kegiatan korupsi yang dilakukannya, seperti
korupsi waktu, jabatan, maupun dalam bentuk gratifikasi. Namun disini penulis
lebih menekankan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara ataupun pemimpin
perusahaan yang sangat merugikan negara, karena notabene mereka memiliki pendidikan
tinggi. Seperti yang kita ketahui, salah satu tujuan pendidikan nasional dalam UUD 1945 pasal 31,
ayat 3 menyebutkan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Namun sepertinya tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai, karena tidak ada
jaminan semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik akhlaknya.
Buktinya masih banyak putera/i bangsa ini yang berpendidikan tinggi namun masih
melakukan tindak pidana korupsi, tentunya sangat jauh terhadap akhlak mulia yang dicita-citakan.
Mengaitkan
korupsi dengan pendidikan bukan bermaksud untuk mendiskreditkan pendidikan itu
sendiri, namun disini hanyalah kesadaran para pembaca yang penulis harapkan.
Para pemimpin negara atau perusahaan pastinya pernah mengenyam pendidikan di
bangku kuliah, baik tingkat DI, DII, DIII, hingga S3 sekalipun. Selama
berproses dalam dunia pendidikan, seseorang akan membawa nilai-nilai yang
didapat di dunia pendidikan ke lingkungan bermasyarakat, baik
nilai-nilai yang memang sengaja ditanamkan selama perkuliahan, maupun
nilai-nilai yang didapatkan tanpa kesengajaan atau yang tidak ada dalam kurikulum pendidikan. Begitu pun nilai-nilai kejujuran dan kebohongan, seorang pejabat yang
korupsi, bukanlah seorang mahasiswa yang jujur selama perkuliahan. Meskipun ini
hanyalah hipotesis sementara, namun logikanya mengatakan demikian.
Kebiasaan
mencontek saat ujian sepertinya sudah menjadi “kesalahan yang dibenarkan”
karena jika kesalahan dilakukan berjemaah, maka kesalahan tersebut akan
bertransformasi menjadi sebuah kebenaran. Ini harus kita sadari bersama jika
bangsa ini memang benar-benar ingin terlepas dalam belenggu setan (korupsi)
tersebut. Penulis juga tidak bisa memunafikan jika penulis tidak pernah
melakukan tindakan tersebut selama perkuliahan, namun kesadaran yang tumbuh
seiring bertambahnya usia dan kecintaan terhadap kebenaran dan kejujuran
membuat hati nurani berkata agar tindakan tersebut penulis tinggalkan. Penulis
adalah saksi hidup bagaimana mahasiswa dewasa ini menganggap kegiatan mencontek
sebagai suatu hal yang lumrah, sebagai “jalan terakhir” jika otak telah tumpul
saat melaksankan ujian. Kebiasaan inilah yang melekat dan dibawa kedunia nyata
dan dunia kerja. Memang ada pepatah “siapa jujur bakal hancur”, namun itu sangat
menyesatkan dan tidak pantas jadi pedoman. Itulah salah satu penyebab
merebaknya tindak pidana korupsi ditengah masyarakat, mereka yang dulunya
sering berlaku curang saat ujian seperti mencotek dan saat di dunia kerja menduduki
posisi strategis dan jabatan penting, seperti menjadi pejabat
negara ataupun pemimpin perusahaan, jadi tidak perlu heran mengapa mereka
melakukan tindak pidana korupsi, karena bagi mereka itu adalah kebiasaan yang
lumrah, serta tidak begitu takut akan dosa.
Semoga
kita yang masih berstatus Mahasiswa tetap mencintai kebenaran dan kejujuran,
karena jika dimulai dari sekarang, akan berdampak untuk masa depan. Tidak
merugikan oranglain, apalagi diri kita sendiri.
Selamat
Hari Pro Kejujuran!!!
Tidak ada komentar :
Posting Komentar