Selasa, 02 Desember 2014

Kekaguman Terhadap Mahasiswa Eksakta.



Sebagai aktivis kampus saya memiliki banyak teman, baik teman yang disiplin ilmu sosial maupun eksakta. Saya mungkin sudah tahu mengenai lika-liku menjadi mahasiswa ilmu sosial, karena itu makanan saya sehari-hari. Kuliah di ilmu sosial tidak seperti eksakta. Di sosial tidak ada yang namanya pratikum, Ujian Akhir Pratikum (UAP), ataupun Tugas Besar (TB).
Di ilmu sosial kuliah begitu terasa santai, hari-hari dilewati tanpa tugas yang berat, bisa main-main dengan sesuka hati, dan kalau dikelas cukup dengan mental debat yang kuat maka nilai plus dari dosen pun akan kita peroleh.

Beda padang beda ilalang, lain lubuk lain ikannya. Ibarat itulah antara mahasiswa yang mengambil disiplin ilmu sosial dengan disiplin eksakta. Di eksakta, sependek pengetahuan saya, mahasiswa disibukan dengan tugas yang begitu banyak, belum lagi assistensi, pratikum, ujian pratikum, hingga ada yang namanya TB alias tugas besar. Bagi saya pribadi, saya sangat mengagumi keuletan mahasiswa eksakta dalam perkuliahan, kadang saya merenungi hal itu, betapa mereka mampu membagi waktu yang boleh dikatakan 24 jam sehari tidak bakal cukup jika mereka gunakan untuk tidur tujuh jam, jadi setahu saya mahasiswa eksakta tersebut mengurangi jatah tidur mereka hanya untuk membikin tugas-tugas kuliah. Entah bagaimana bisa mereka membagi waktu, dan tetap menikmati hidup dengan penuh gairah meskipun hari-hari yang mereka lewati penuh dengan beban. Mungkin saja cuma saya (yang anak sosial) yang menganggap itu beban, mungkin bagi mereka itu adalah sebuah kesenangan.

Tapi jika mahasiswa eksakta terlalu fokus akan tugas kuliah, maka bisa saja akan ketinggalan sama anak sosial jika dilihat dari segi pergaulan di dalam kampus. Namun ternyata banyak anak eksakta yang memahami hal itu. Selain disibukan dengan kegiatan perkuliahan dan tugas yang super banyak (entah saya yang lebay, tapi bagi saya  itu sudah sangat banyak) mahasiswa  eksata masih banyak yang menjadi aktivis kampus, malang melintang di berbagai organisasi. Ini adalah sebuah kenyataan di lapangan yang sangat saya kagumi. Selain itu, hal ini juga sebuah tamparan bagi saya yang anak sosial. Kenapa? Karena saya memiliki banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk mengasah diri, meningkatkan soft skill serta mengaktualisasikan diri. Saya memberikan sedikit kritikan untuk anak sosial yang malas untuk berorganisasi agar mau ikut kedalam organisasi, karena saya pernah mendengarkan kata-kata seperti ini “sangat merugi anak sosial jika tidak masuk organisasi”. Kata-kata tersebut perlu direnungi oleh anak sosial, karena jangan sampai ladang mahasiswa sosial diambil alih oleh mahasiswa eksakta.

Saya pernah bertanya ke dosen. “Mengapa mahasiswa dari eksakta lebih banyak yang berkecimpung dalam dunia sosial, bahkan berprestasi di dunia sosial. Sedangkan anak sosial sendiri telah terabaikan?. Dosen saya hanya menjawab, “Anda lebih tahu jawabannya”. Mendengarkan kata-kata dosen saya tersebut, teman-teman sekelas menertawai saya. Hello... dalam hati saya heran, apa yang mereka tertawakan? Apakah mereka menertawakan saya? Atau menertawakan diri mereka sendiri?

Disini saya mengungkapkan kekaguman kepada teman-teman saya yang mengambil disiplin ilmu eksakta, tapi masih menyempatkan diri berorganisasi. Disisi lain bukan berarti saya tidak mengagumi anak sosial, karena kenyataannya anak sosial juga cukup banyak yang menjadi aktivis kampus. Semoga tulisan ini menjadi kritikan pada diri saya pribadi, dan menjadi renungan buat kita semua bahwa selain dunia kuliah, masih ada dunia organisasi sebagai tempat mengupgrade soft skill kita.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar