Sebagai
aktivis kampus saya memiliki banyak teman, baik teman yang disiplin ilmu sosial
maupun eksakta. Saya mungkin sudah tahu mengenai lika-liku menjadi mahasiswa
ilmu sosial, karena itu makanan saya sehari-hari. Kuliah di ilmu sosial tidak
seperti eksakta. Di sosial tidak ada yang namanya pratikum, Ujian Akhir
Pratikum (UAP), ataupun Tugas Besar (TB).
Di ilmu sosial kuliah begitu terasa
santai, hari-hari dilewati tanpa tugas yang berat, bisa main-main dengan sesuka
hati, dan kalau dikelas cukup dengan mental debat yang kuat maka nilai plus
dari dosen pun akan kita peroleh.
Beda
padang beda ilalang, lain lubuk lain ikannya. Ibarat itulah antara mahasiswa
yang mengambil disiplin ilmu sosial dengan disiplin eksakta. Di eksakta,
sependek pengetahuan saya, mahasiswa disibukan dengan tugas yang begitu banyak,
belum lagi assistensi, pratikum, ujian pratikum, hingga ada yang namanya TB alias
tugas besar. Bagi saya pribadi, saya sangat mengagumi keuletan mahasiswa
eksakta dalam perkuliahan, kadang saya merenungi hal itu, betapa mereka mampu
membagi waktu yang boleh dikatakan 24 jam sehari tidak bakal cukup jika mereka
gunakan untuk tidur tujuh jam, jadi setahu saya mahasiswa eksakta tersebut
mengurangi jatah tidur mereka hanya untuk membikin tugas-tugas kuliah. Entah
bagaimana bisa mereka membagi waktu, dan tetap menikmati hidup dengan penuh
gairah meskipun hari-hari yang mereka lewati penuh dengan beban. Mungkin saja
cuma saya (yang anak sosial) yang menganggap itu beban, mungkin bagi mereka itu
adalah sebuah kesenangan.
Tapi
jika mahasiswa eksakta terlalu fokus akan tugas kuliah, maka bisa saja akan
ketinggalan sama anak sosial jika dilihat dari segi pergaulan di dalam kampus. Namun
ternyata banyak anak eksakta yang memahami hal itu. Selain disibukan dengan
kegiatan perkuliahan dan tugas yang super banyak (entah saya yang lebay, tapi
bagi saya itu sudah sangat banyak)
mahasiswa eksata masih banyak yang
menjadi aktivis kampus, malang melintang di berbagai organisasi. Ini adalah sebuah
kenyataan di lapangan yang sangat saya kagumi. Selain itu, hal ini juga sebuah
tamparan bagi saya yang anak sosial. Kenapa? Karena saya memiliki banyak waktu
luang yang bisa dimanfaatkan untuk mengasah diri, meningkatkan soft skill serta
mengaktualisasikan diri. Saya memberikan sedikit kritikan untuk anak sosial
yang malas untuk berorganisasi agar mau ikut kedalam organisasi, karena saya
pernah mendengarkan kata-kata seperti ini “sangat merugi anak sosial jika tidak
masuk organisasi”. Kata-kata tersebut perlu direnungi oleh anak sosial, karena
jangan sampai ladang mahasiswa sosial diambil alih oleh mahasiswa eksakta.
Saya
pernah bertanya ke dosen. “Mengapa mahasiswa dari eksakta lebih banyak yang
berkecimpung dalam dunia sosial, bahkan berprestasi di dunia sosial. Sedangkan
anak sosial sendiri telah terabaikan?. Dosen saya hanya menjawab, “Anda lebih
tahu jawabannya”. Mendengarkan kata-kata dosen saya tersebut, teman-teman
sekelas menertawai saya. Hello... dalam hati saya heran, apa yang mereka
tertawakan? Apakah mereka menertawakan saya? Atau menertawakan diri mereka
sendiri?
Disini
saya mengungkapkan kekaguman kepada teman-teman saya yang mengambil disiplin
ilmu eksakta, tapi masih menyempatkan diri berorganisasi. Disisi lain bukan
berarti saya tidak mengagumi anak sosial, karena kenyataannya anak sosial juga
cukup banyak yang menjadi aktivis kampus. Semoga tulisan ini menjadi kritikan
pada diri saya pribadi, dan menjadi renungan buat kita semua bahwa selain dunia
kuliah, masih ada dunia organisasi sebagai tempat mengupgrade soft skill kita.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar