Pemerintah
sedang gencar-gencarnya menerapkan e-money, atau gerakan nasional non tunai di
setiap kampus di Indonesia. hal tersebut tersebut dilakukan guna meningkatkan
kesadaran masyarakat, pelaku bisnis, dan juga lembaga-lembaga pemerintah untuk
menggunakan sarana pembayaran non tunai dalam melakukan transaksi keuangan yang
mudah, aman, dan efisien.
"Sebagai
bentuk komitmen atas perluasan instrumen non tunai, kami akan menjadikan GNNT
sebagai gerakan tahunan yang didukung dengan berbagai kegiatan untuk mendorong
meningkatkan pemahaman masyarakat akan penggunaan instrumen non tunai dalam
melakukan transaksi pembayaran," kata Agus di Mal Mangga Dua, Kamis. Namun
dari menurut penulis hal ini tidaklah efetif, karena kita berkaca dengan
pembangunan yang sebelumnya pernah dilakukan oleh pemerintah dan gagal seperti
program KB yang tidak memperhitungkan sikap masyarakat terhadap pengunaan alat
kontrasepsi ataupun program perkebunan termbakau yang direncanakan tanpa dasar
pengetahuan mengenai keadaan politik dan sosial masyarakat. Begitupun GNNT, penulis
berasumsi bahwa program GNNT tidak akan efektif bahkan bisa mengalami kegagalan
dalam penerapannya dalam masyarakat. Hal ini karena penulis melihat bahwa pemerintah tidak melihat bahkan menutup mata
terhadap kondisi sosial masyarakat yang belum siap menerima perubahan seperti
dari cash ke kredit (non tunai) ini.
Keberhasilan suatu
program terletak pada pendekatan pembangunannya. Pada penerapan program GNNT
ini, pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah adalah pendekatan
pertumbuhan, yang sebenarnya pernah dilakukan sebelumnya seperti program
listrik masuk desa, layanan kesehatan
desa, dan seperti yang sekarang ini, program gerakan nasional non tunai (GNNT).
Kritikan terhadap pendekatan ini adalah tidak meratanya pembangunan, seperti
kita lihat masyarakat yang hanya mendapatkan akses GNNT ini hanyalah masyarakat
kelas menengah keatas. Faktanya adalah tidak tersedianya alat untuk
mengoperasikan e-money tersebut di pedagang-pedagang pasar tradisional,
misalnya pedagang Pasar Raya, Padang.
Seharusnya dalam
penerapan GNNT ini, pemerintah harus melibatkan sosiolog, karena ini berkaitan
dengan khalayak banyak, hal ini bertujuan untuk menghindari kegagalan program
yang dilakukan diakhir pemerintahan SBY ini. Seorang sosiolog selalu memandang
masyarakat sebagai pusat perhatian dari pembangunan. Pendekatan yang ditawarkan
oleh sosiolog untuk meminimalisir kegagalan dalam proyek ini adalah pendekatan
partisipatif, yaitu model pembangunan yang tidak sekedar meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional (GNP), tetapi lebih penting lagi
adalah upaya meningkatkan kualitas manusia agar dapat meningkatkan
partisipasinya secara nyata dalam kehidupan berbangsa.
Masyarakat sebagai
fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan telah diabaikan dalam program GNNT
ini, karena penulis melihat program GNNT ini tidak memandang kondisi sosial
masyarakat, apakah masyarakat siap menerima perubahan? Itu belum diketahui oleh
mereka yang menjalankan program GNNT ini. Masyarakat masih banyak berpendidikan
rendah, dan pada kenyataannya masyarakat Indonesia masih kecil partisipasinya
dalam pembangunan. Mereka yang berpendidikan rendah tidak mudah menerima
perubahan, karena adanya prasangka buruk terhadap program ini, hal ini
disebabkan karena program ini begitu “ribet”
saat memakainya, serta masyarakat yang sudah terbiasa dengan uang tunai kurang
percaya dengan sistem e-money tersebut.
Kebiasaan dalam
memakai uang tunai dalam transaksi perdagangan telah menjadi kebiasaan bahkan boleh
disebut sebagai kebudayaan masyarakat. Merubah sebuah kebiasaan/kebudayaan
bukanlah perkara mudah, karena ini berkaitan dengan sistem. Itulah yang
dilupakan oleh elite-elite yang “memaksakan” untuk menerapkan program GNNT ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar