Untuk menjelaskan angka perceraian di Amerika
Serikat, para penganut interaksionime simbolik melihat bagaimana ide dan
perilaku orang berubah dikala simbol berubah. Mereka mecatat bahwa sampai awal
tahun 1900-an, orang Amerika menganggap perkawinan sebagai suatu komitmen
seumur hidup yang suci. Perceraian dianggap sebagai suatu tindakan tidak
bermoral yang membawa cidera, suatu pengabaian mencolok dari opini publik.
Kemudian
secara perlahan, makna perkawinan berubah. Pada tahun 1933, sosiolog William
Ogburn mengamati bahwa kepribadian semakin diperhitungkan dalam pemilihan
pasangan. Pada tahun 1945, sosiolog Ernest Burgess dan Harvey Locke mencatat
semakin pentingnya saling menyayangi, pengertian, dan kesepadanan dalam
perkawinan. Secara bertahap, pandangan orang berubah. Mereka tidak lagi
memandang perkawinan sebagai suatu komitmen, seumur hidup yang didasarkan pada
tugas dan kewajiban. Sebaliknya, mereka mulai memandang perkawinan sebagai
suatu pengaturan, yang bisa saja bersifat sementara, yang didasarkan pada
perasaan keintiman. Maka perceraian pun berubah. Kalau semula perceraian dianggap
sebagai simbol kegagalan, kini
perceraian menjadi suatu indikator kebebasan dan awal yang baru. Dihilang stigma
percarai hambatan kuat yang menghalangi pemutusan hubungan suami-istri.
Para penganut interaksionisme simbolik pun mencatat
adanya perubahan pada simbol terkait dari perkawinan dan peran orangtua dan
mereka menunjukan bahwa tidak satupun dari perubahan tersebut yang memperkuat
perkawinan. Berdasarkan tradisi, misalnya, pengantin baru semula mengetahui apa
yang secara sah dapat mereka harapkan dari pasangannya. Sebaliknya, dengan
panduan masa kini yang lebih kabur, pasangan harus menentukan bagaiamana
berbagi tanggungjawab untuk pekerjaan, rumah, dan anak-anak. Sewaktu mereka
bersusah payah melakukannya, banyak yang kewalahan. Meskipun pasangan-pasangan
merasa lega karena tidak harus taat kepada apa yang mereka anggap sebagai gagasan
yang membenani, harapan (atau simbol-simbol) tersebut menyediakan suatu
struktur yang mengakibatkan perkawinan dapat bertahan. Ketika simbol-simbol itu
berubah, struktur diperlemah, sehingga perkawinan menjadi lebih rentan dan
perceraian menjadi lebih lazim.
Demikian pula mengenai ide peran orangtua dan
anak-anak yang semula berbeda. Diluar penyediaan makanan, pakaian, temapat
tinggal, dan bimbingn moral, tanggungjawab orangtua untuk hal-hal yang lebih
kecil. Tanggungjawab inipun hanya untuk waktu yang terbatas, karena pada usia
muda, anak-anak sudah mulai memberikan kontribusi pada keluarga. Dibanyak masyarakat,
peran orangtua masih seperti ini. Di Kolumbia, misalnya anak-anak orang miskin
sering diharapkan untuk mencari nafkah sendiri dikala mereka berusia 8-10
tahun. Namun di negara industri maju, kita mengasumsikan bahwa anak merupakan
makhluk rentan yang secara finansial dan emosional harus bergantung pada
orangtua selama bertahun-tahun., setingkali sampai mereka berusia dua puluh
tahunan. Bahwa hal ini tidak berlaku bagi banyak kebudayaan lain merupakan
suatu hal yang mengherankan bagi orang Amerika, yang mengasumsikan bahwa
situasi mereka adalah semacam pengaturan alami. Tanggung jawab yang lebih besar
yang kita berikan pada peran orangtua menempatkan beban berat pada pasangan
masa kini, dan sejalan dengan itu, lebih banyak tekanan pada perkawinan.
Dengan demikian, para penganut interaksionisme
simbolik mengamati bagaiamana ide (atau simbol) yang berubah menempatkan
tekanan pada pasangan yang telah menikah. Tidak ada perubahan tunggal yang
merupakan penyebab tingginya angka perceraian kita, namun, secara bersama-sama,
perubahan-perubahan tersebut menyediakan suatu dorongan yang kuat bagi maraknya
perceraian.
Daftar Pustaka
Henslin, James M. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi. Jakarta. Penerbit Erlangga
Tidak ada komentar :
Posting Komentar