Rabu, 03 September 2014

Sosiologi Terapan: Menerapkan Interaksionisme Simbolik



Untuk menjelaskan angka perceraian di Amerika Serikat, para penganut interaksionime simbolik melihat bagaimana ide dan perilaku orang berubah dikala simbol berubah. Mereka mecatat bahwa sampai awal tahun 1900-an, orang Amerika menganggap perkawinan sebagai suatu komitmen seumur hidup yang suci. Perceraian dianggap sebagai suatu tindakan tidak bermoral yang membawa cidera, suatu pengabaian mencolok dari opini publik.
Kemudian secara perlahan, makna perkawinan berubah. Pada tahun 1933, sosiolog William Ogburn mengamati bahwa kepribadian semakin diperhitungkan dalam pemilihan pasangan. Pada tahun 1945, sosiolog Ernest Burgess dan Harvey Locke mencatat semakin pentingnya saling menyayangi, pengertian, dan kesepadanan dalam perkawinan. Secara bertahap, pandangan orang berubah. Mereka tidak lagi memandang perkawinan sebagai suatu komitmen, seumur hidup yang didasarkan pada tugas dan kewajiban. Sebaliknya, mereka mulai memandang perkawinan sebagai suatu pengaturan, yang bisa saja bersifat sementara, yang didasarkan pada perasaan keintiman. Maka perceraian pun berubah. Kalau semula perceraian dianggap sebagai  simbol kegagalan, kini perceraian menjadi suatu indikator kebebasan dan awal yang baru. Dihilang stigma percarai hambatan kuat yang menghalangi pemutusan hubungan suami-istri.

Para penganut interaksionisme simbolik pun mencatat adanya perubahan pada simbol terkait dari perkawinan dan peran orangtua dan mereka menunjukan bahwa tidak satupun dari perubahan tersebut yang memperkuat perkawinan. Berdasarkan tradisi, misalnya, pengantin baru semula mengetahui apa yang secara sah dapat mereka harapkan dari pasangannya. Sebaliknya, dengan panduan masa kini yang lebih kabur, pasangan harus menentukan bagaiamana berbagi tanggungjawab untuk pekerjaan, rumah, dan anak-anak. Sewaktu mereka bersusah payah melakukannya, banyak yang kewalahan. Meskipun pasangan-pasangan merasa lega karena tidak harus taat kepada apa yang mereka anggap sebagai gagasan yang membenani, harapan (atau simbol-simbol) tersebut menyediakan suatu struktur yang mengakibatkan perkawinan dapat bertahan. Ketika simbol-simbol itu berubah, struktur diperlemah, sehingga perkawinan menjadi lebih rentan dan perceraian menjadi lebih lazim.

Demikian pula mengenai ide peran orangtua dan anak-anak yang semula berbeda. Diluar penyediaan makanan, pakaian, temapat tinggal, dan bimbingn moral, tanggungjawab orangtua untuk hal-hal yang lebih kecil. Tanggungjawab inipun hanya untuk waktu yang terbatas, karena pada usia muda, anak-anak sudah mulai memberikan kontribusi pada keluarga. Dibanyak masyarakat, peran orangtua masih seperti ini. Di Kolumbia, misalnya anak-anak orang miskin sering diharapkan untuk mencari nafkah sendiri dikala mereka berusia 8-10 tahun. Namun di negara industri maju, kita mengasumsikan bahwa anak merupakan makhluk rentan yang secara finansial dan emosional harus bergantung pada orangtua selama bertahun-tahun., setingkali sampai mereka berusia dua puluh tahunan. Bahwa hal ini tidak berlaku bagi banyak kebudayaan lain merupakan suatu hal yang mengherankan bagi orang Amerika, yang mengasumsikan bahwa situasi mereka adalah semacam pengaturan alami. Tanggung jawab yang lebih besar yang kita berikan pada peran orangtua menempatkan beban berat pada pasangan masa kini, dan sejalan dengan itu, lebih banyak tekanan pada perkawinan. 

Dengan demikian, para penganut interaksionisme simbolik mengamati bagaiamana ide (atau simbol) yang berubah menempatkan tekanan pada pasangan yang telah menikah. Tidak ada perubahan tunggal yang merupakan penyebab tingginya angka perceraian kita, namun, secara bersama-sama, perubahan-perubahan tersebut menyediakan suatu dorongan yang kuat bagi maraknya perceraian.


Daftar Pustaka
Henslin, James M. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi. Jakarta. Penerbit Erlangga

Tidak ada komentar :

Posting Komentar