Rabu, 03 September 2014

Agen Sosialisasi: Keluarga, Sekolah, Teman Bermain, dan Media Massa



Fuller  dan Jacobs mendefenisikan ada empat agen sosialisasi utama: keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa.

A. Keluarga
Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orangtua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas (extended family) agen sosiaslisasi biasanya berjumlah lebih banyak dan dapat pula nenek, kakek, paman, bibi, dan sebagainya.
Pada sistem komun yang dijumpai di Republik Rakyat Tiongkok atau berbagai negara Eropa Timur sebelum runtuhnya Uni Soviet, pada sistem Kibbutz di Israel, atau pada sistem penitipan anak dalam hal kedua orangtua bekerja, sosialisasi terhadap anak dibawah usia lima tahun mungkin pula dilakukan oleh orang lain yang sama sekali bukan kerabat seperti tetangga, baby sitter, pekerja sosial, petugas tempat penitipan anak dan sebagaimananya. Dilapisan menengah keatas dimasyarakat perkotan seringkali pembantu rumah tangga memegang peran penting agen sosialisasi anak, setidaknya pada tahap awal.

Gertrude Jaeger (1977) dala Sunarto (2004) mengemukakan bahwa peran agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orangrua sangat penting. Sang anak sangat tergantung terhadap orangtua dan apa yang terjadi antara orangtua dan anak pada tahap awal jarang diketahui oleh orang luar. Dengan demikian anak tidak terlindungi oleh penyalahgunaan kekuasaan yang sering dilakukan orangtua terhadap mereka seperti penganiayaan (child abuse), perkosaan, dan sebagainya.

Arti penting agen sosialisasi pertama pun terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant others pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal; ia mulai berkomunikasi bukan saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui pancaindra lain, terutama sentuhan fisik.

Kemampuan berbahasa yang ditanamkan pada tahap ini. Sang anak mulai mempunyai diri—mulai memasuki play stage dalam proses pengambilan peran orang lain. Ia mulai mengidentifikasi sebagai anak laki-laki atau anak perempuan. Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu  hanya dapat diajarkan pada periode tertentu saja, dalam perkembangan fisik seseorang; artinya, proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan terlambat ataupun terlalu dini.

2. Tempat Bermain
Setelah mulai bisa keluar rumah, seorang anak memperoleh agen sosalisasi lain: teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat mauoun tetangga dan teman sekilah. Disini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru. Kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajarinya di rumah melibatkan hubungan yang tidak sederajata (seperti nenek dengan cucu), maka dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah seorang anak memasuki game stage –mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok bermain pulalah seorang anak belajar nilai-nilai keadilan.

3. Sekolah
Agen sosialisasi berikut—tentunya dalam masyarakat yang telah mengenalnya—adalah sistem pendidikan formal. Disini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk peguasaan peran-peran baru dikemudian hari, dikala seseorang tidak tergantung lagi pada orangtua.

Menurut Dreeben (1968) dalam Sunarto (2004) disekolah harus seorang anak harus belajar untuk mandiri. Kalau dirumah seorang anak dapat mengharapakan bantuan orangtuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, di sekilah sebagian besar tugas sekolah harus dikerjakan sendiri dengan penuh rasa tanggungjawab. Ketergantungan pada orangtua yang dijumpai di rumah tidak terdapat di sekolah; guru menuntut kemandirian dan tanggungjawab pribadi bagi tugas-tugas sekolah. Kerja sama dalam kelas hanya dibenarkan bila tidak melibatkan penipuan dan kecurangan.

Aturan kedua yang dipelajari anak melibatkan prestasi. Di rumah peran seorang anak terkait dengan askrip—peran-peran yang dimilikinya, seperti peran sebagi anak laki-laki atau perempuan, sebagai adik atau sebagai kakak merupakan peran yang dibawa sejak lahir. Di sekolah pihak lain, peran yang diraih dengan berprestasi merupakan peran yang menonjol. Kedudukan anak di suatu jenjang pendidikan tertentu, atau peringkatnya dalam jenjang prestasi di dalam kelas, misalnya, hanya dapat diraih melalui prestasi. Meskipun orangtua pun berperan dalam mendorong anak untuk berprestasi, namun menurut Dreeben peran sekolah masih lebih besar. Sekolah menuntut siswa untuk berprestasi, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler. Seseorang siswa didorong untuk giat berusaha mengembangkan kemampuan dan bersaing agar meraih keberhasilan dan menghindari kegagalan. Kemampuan yangia peroleh serta keberhasilan maupun kegagalan yang dicapai menjadi dasar bagi penentuan peran di masa mendatang.

Aturan ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenai universalisme, lawan dari aturan partikularisme. Dalam keluarga, seorang anak cenderung mendapatkan perlakuan khusus dari orangtuanya karena ia adalah anak mereka. Anak orang lain biasanya tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Di sekolah, dipihak lain setiap siswa mendapatkan perlakuan sama. Perlakuan berbeda hanya dibenarkan pada kelakua siswa di sekolah, apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah.

Spesifitas merupakan aturan keempat dan merupakan kebalikan dari kekaburan (diffusenes). Di sekolah kegiatan siswa serta penilaian terhadap kelakuan mereka dibatasi secara spesifik. Kekeliruan yang dilakukan seorang siswa dalam mata pelajaran matematika, misalnya sama sekali tidak mempengruhi penilaian gurunya terhadap prestasinya di mata pelajara bahasa Indonesia. Ia dapat mendapatkan kritik disatu mata pelajaran, tetapi berhasil di mata pelajaran lain..
Dari pandangan Dreeben kita dapat melihat bahwa sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru yang diperlukan bagi amggota masyarakat, dan aturan baru tersebut sering berbeda dan bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung anak di rumah.

4. Media Massa
Light, Keller dan Calhoun(1989) dalam Sunarto (2004) mengemukakan bahwa media massa—yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televisi, film, internet)—merupakan bentuk komunikasi yang menjangakau sejumlah besar orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpangaruh pula terhadap perilaku khalayaknya. Peningkatan teknologi yang memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi  yang semakin penting.

Pesan-pesan yang disampaikan media elektronik dapat mengarahkan khalayak banyak kearah perilaku prososial mapun antisosial. Penayangan secara berkesinambungan dari laporan-laporan mengenai perang seperti Perang Teluk, perang di Somalia atau dikawasan Balkan atau penayangan film-film seri dan film kartun yang menonjolkan kekeraan dianggap  sebagai sesuatu faktor yang memicu perilaku agresif pada anak-anak yang melihatnya. 

Dari data yang ada Fuller dan Jacobs menyimpulkan bahwa di Amerika Serikat televisi menyita sejumlah besar waktu anak-anak lebih banyak daripada yang diluangkan utntuk sekolah, dan banyak acara yang ditonton anak merupakan acar orang dewasa. Fuller dan Jacobs mengemukakan bahwa menurut studi Bandura dan Walters sejumlah anak yang menonton acara televisi yang beradegan kekerasan cenderung bersifat agresif.





Daftar Pustaka
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar