Fuller dan Jacobs mendefenisikan ada empat agen
sosialisasi utama: keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa.
A. Keluarga
Pada awal
kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orangtua dan saudara
kandung. Pada masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas (extended family)
agen sosiaslisasi biasanya berjumlah lebih banyak dan dapat pula nenek, kakek,
paman, bibi, dan sebagainya.
Pada sistem komun yang dijumpai di Republik Rakyat
Tiongkok atau berbagai negara Eropa Timur sebelum runtuhnya Uni Soviet, pada
sistem Kibbutz di Israel, atau pada sistem penitipan anak dalam hal kedua
orangtua bekerja, sosialisasi terhadap anak dibawah usia lima tahun mungkin
pula dilakukan oleh orang lain yang sama sekali bukan kerabat seperti tetangga,
baby sitter, pekerja sosial, petugas
tempat penitipan anak dan sebagaimananya. Dilapisan menengah keatas
dimasyarakat perkotan seringkali pembantu rumah tangga memegang peran penting
agen sosialisasi anak, setidaknya pada tahap awal.
Gertrude
Jaeger (1977) dala Sunarto (2004) mengemukakan bahwa peran agen sosialisasi
pada tahap awal ini, terutama orangrua sangat penting. Sang anak sangat tergantung
terhadap orangtua dan apa yang terjadi antara orangtua dan anak pada tahap awal
jarang diketahui oleh orang luar. Dengan demikian anak tidak terlindungi oleh
penyalahgunaan kekuasaan yang sering dilakukan orangtua terhadap mereka seperti
penganiayaan (child abuse), perkosaan, dan sebagainya.
Arti
penting agen sosialisasi pertama pun terletak pada pentingnya kemampuan yang
diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant others
pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal;
ia mulai berkomunikasi bukan saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi
juga melalui pancaindra lain, terutama sentuhan fisik.
Kemampuan
berbahasa yang ditanamkan pada tahap ini. Sang anak mulai mempunyai diri—mulai
memasuki play stage dalam proses pengambilan peran orang lain. Ia mulai
mengidentifikasi sebagai anak laki-laki atau anak perempuan. Banyak ahli
berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada periode tertentu
saja, dalam perkembangan fisik seseorang; artinya, proses sosialisasi akan
gagal bilamana dilaksanakan terlambat ataupun terlalu dini.
2. Tempat
Bermain
Setelah
mulai bisa keluar rumah, seorang anak memperoleh agen sosalisasi lain: teman
bermain, baik yang terdiri atas kerabat mauoun tetangga dan teman sekilah.
Disini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru. Kalau dalam keluarga
interaksi yang dipelajarinya di rumah melibatkan hubungan yang tidak sederajata
(seperti nenek dengan cucu), maka dalam kelompok bermain seorang anak belajar
berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah
seorang anak memasuki game stage –mempelajari aturan yang mengatur peran orang
yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok bermain pulalah seorang anak
belajar nilai-nilai keadilan.
3. Sekolah
Agen
sosialisasi berikut—tentunya dalam masyarakat yang telah mengenalnya—adalah
sistem pendidikan formal. Disini seseorang mempelajari hal baru yang belum
dipelajarinya dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya
untuk peguasaan peran-peran baru dikemudian hari, dikala seseorang tidak
tergantung lagi pada orangtua.
Menurut
Dreeben (1968) dalam Sunarto (2004) disekolah harus seorang anak harus belajar
untuk mandiri. Kalau dirumah seorang anak dapat mengharapakan bantuan
orangtuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, di sekilah sebagian besar
tugas sekolah harus dikerjakan sendiri dengan penuh rasa tanggungjawab. Ketergantungan
pada orangtua yang dijumpai di rumah tidak terdapat di sekolah; guru menuntut
kemandirian dan tanggungjawab pribadi bagi tugas-tugas sekolah. Kerja sama
dalam kelas hanya dibenarkan bila tidak melibatkan penipuan dan kecurangan.
Aturan
kedua yang dipelajari anak melibatkan prestasi. Di rumah peran seorang anak
terkait dengan askrip—peran-peran yang dimilikinya, seperti peran sebagi anak
laki-laki atau perempuan, sebagai adik atau sebagai kakak merupakan peran yang
dibawa sejak lahir. Di sekolah pihak lain, peran yang diraih dengan berprestasi
merupakan peran yang menonjol. Kedudukan anak di suatu jenjang pendidikan
tertentu, atau peringkatnya dalam jenjang prestasi di dalam kelas, misalnya,
hanya dapat diraih melalui prestasi. Meskipun orangtua pun berperan dalam
mendorong anak untuk berprestasi, namun menurut Dreeben peran sekolah masih
lebih besar. Sekolah menuntut siswa untuk berprestasi, baik dalam kegiatan
kurikuler maupun ekstra kurikuler. Seseorang siswa didorong untuk giat berusaha
mengembangkan kemampuan dan bersaing agar meraih keberhasilan dan menghindari
kegagalan. Kemampuan yangia peroleh serta keberhasilan maupun kegagalan yang
dicapai menjadi dasar bagi penentuan peran di masa mendatang.
Aturan
ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenai universalisme, lawan dari
aturan partikularisme. Dalam keluarga, seorang anak cenderung mendapatkan
perlakuan khusus dari orangtuanya karena ia adalah anak mereka. Anak orang lain
biasanya tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Di sekolah, dipihak lain setiap
siswa mendapatkan perlakuan sama. Perlakuan berbeda hanya dibenarkan pada
kelakua siswa di sekolah, apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak sesuai
dengan apa yang diharapkan sekolah.
Spesifitas
merupakan aturan keempat dan merupakan kebalikan dari kekaburan (diffusenes).
Di sekolah kegiatan siswa serta penilaian terhadap kelakuan mereka dibatasi
secara spesifik. Kekeliruan yang dilakukan seorang siswa dalam mata pelajaran
matematika, misalnya sama sekali tidak mempengruhi penilaian gurunya terhadap
prestasinya di mata pelajara bahasa Indonesia. Ia dapat mendapatkan kritik
disatu mata pelajaran, tetapi berhasil di mata pelajaran lain..
Dari
pandangan Dreeben kita dapat melihat bahwa sekolah merupakan suatu jenjang
peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru yang
diperlukan bagi amggota masyarakat, dan aturan baru tersebut sering berbeda dan
bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi
berlangsung anak di rumah.
4. Media
Massa
Light,
Keller dan Calhoun(1989) dalam Sunarto (2004) mengemukakan bahwa media massa—yang
terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio,
televisi, film, internet)—merupakan bentuk komunikasi yang menjangakau sejumlah
besar orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang
berpangaruh pula terhadap perilaku khalayaknya. Peningkatan teknologi yang
memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerpaan
masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen
sosialisasi yang semakin penting.
Pesan-pesan
yang disampaikan media elektronik dapat mengarahkan khalayak banyak kearah
perilaku prososial mapun antisosial. Penayangan secara berkesinambungan dari
laporan-laporan mengenai perang seperti Perang Teluk, perang di Somalia atau
dikawasan Balkan atau penayangan film-film seri dan film kartun yang
menonjolkan kekeraan dianggap sebagai
sesuatu faktor yang memicu perilaku agresif pada anak-anak yang melihatnya.
Dari data
yang ada Fuller dan Jacobs menyimpulkan bahwa di Amerika Serikat televisi menyita
sejumlah besar waktu anak-anak lebih banyak daripada yang diluangkan utntuk
sekolah, dan banyak acara yang ditonton anak merupakan acar orang dewasa. Fuller
dan Jacobs mengemukakan bahwa menurut studi Bandura dan Walters sejumlah anak
yang menonton acara televisi yang beradegan kekerasan cenderung bersifat
agresif.
Daftar Pustaka
Sunarto,
Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar